Monday 13 February 2017

Sejarah Islam Pada Masa Kesultanan di Asia Tenggara

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan Islam di Asia Tenggara merupakan salah satu dari tujuh cabang peradaban Islam. Ketujuh cabang peradaban Islam itu secara lengkap adalah peradaban Islam Arab, Islam Persi, Islam Turki, Islam Afrika Hitam, Islam Anak Benua India, Islam Arab Melayu, dan Islam Cina. Kebudayaan yang disebut Arab Melayu tersebar di wilayah Asia Tenggara memiliki ciri universal menyebabkan peradaban itu tetap mempertahankan bentuk integralitasnya tetapi pada saat yang sama tetap mempunyai unsur-unsur yang khas kawasan itu.
Proses Islamisasi di Asia Tenggara tidak dapat dilepaskan dari peranan kesultanan (kerajaan Islam). Berawal ketika raja setempat memeluk Islam, selanjutnya diikuti para pembesar istana, kaum bangsawan, dan kemudian rakyatnya. Dalam perkembangan selanjutnya, kesultanan memainkan peran penting tidak hanya dalam pemapanan kesultanan sebagai institusi politik muslim, pembentukan dan pengembangan institusi muslim lainnya, seperti pendidikan dan hukum (peradilan agama) tetapi juga dalam peningkatan syiar dan dakwah Islam.
Sejak kehadirannya, kesultanan Islam menjadi kekuatan vital dalam perdagangan bebas internasional dan tidak lepas juga dengan syiar agama yang dibawa oleh saudagar dan ulama muslim. Dalam hal ini kesultanan mencapai kemakmuran yang pada gilirannya sangat menentukan bagi perkembangan Islam secara keseluruhan di Asia Tenggara.
BAB II
PEMBAHASAN
SEJARAH ISLAM PADA MASA KESULTANAN DI ASIA TENGGARA
Penyebaran Islam di wilayah Asia Tenggara ditandai dengan berdirinya kesultanan-kesultanan Islam di kawasan tersebut. Sejarah perkembangan Islam di wilayah Asia Tenggara tidak lepas dari kepentingan perdagangan dan syiar agama (dakwah), melakukan perkawinan, pengaruh politik Islam, serta seni budaya.
Masuknya agama Islam ke nusantaratelah membawa banyak perubahan dan perkembangan pada masyarakat,budaya dan pemerintahan. Perubahan dan perkembangan tersebut terlihat jelas dengan berdirinya kerajaan-kerajaan yang bercorak Islam (kesultanan), antara lain sebagai berikut
A. Kesultanan Islam di Sumatera
1.   Kesultanan Peureulak (Perlak)
Kesultanan Peureulak adalah kerajaan Islam di Indonesia yang berkuasa di sekitar wilayah Peureulak, Aceh Timur, Aceh sekarang pada abad ke-9 M. Disebutkan pada tahun 173 H, sebuah kapal layar berlabuh di bandar Perlak membawa angkatan dakwah di bawah pimpinan nahkoda khalifah. Kesultanan perlak didirikan oleh Sayid Abdul Aziz dengan gelar Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abdul Aziz Syah.[1]Perlak atau Peureulak terkenal sebagai suatu daerah penghasil kayu perlak, jenis kayu yang sangat bagus untuk
pembuatan kapal, dan karenanya daerah ini dikenal dengan nama Negeri Perlak. Hasil alam dan posisinya yang strategis membuat Perlak berkembang sebagai pelabuhan niaga yang maju pada abad ke-9, disinggahi oleh kapal-kapal yang antara lain berasal dari Arab dan Persia. Hal ini membuat berkembangnya masyarakat Islam di daerah ini, terutama sebagai akibat perkawinan campur antara saudagar muslim dengan perempuan setempat.
Adapun raja-raja kesultanan Perlak adalah sebagai berikut :
1. Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abdul Aziz Syah ( 840-864 M )
2. Sultan Alaiddin Maulana Abdur Rahim Syah ( 864-888 M )
3. Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abbas Syah ( 888-913 M )
4. Sultan Alaiddin Sayid Maulana Ali Mughayat Syah ( 915-918 M )
5. Sultan Makhdum Alauddin Malik Abdul Kadir Syah Johan Berdaulat ( 928-932 M )
6. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Syah Johan Berdaulat                      ( 932-956 M )
7. Sultan Makhdum Abdul Malik Ibrahim Syah Johan Berdaulat ( 956-983 M ).[2]
2.  Kesultanan Samudera Pasai
Kesultanan Pasai, juga dikenal dengan Samudera Darussalam, atau Samudera Pasai, adalah kerajaan Islam yang terletak di pesisir pantai utara Sumatera, kurang lebih di sekitar Kota Lhokseumawe dan Aceh Utara, Provinsi Aceh, Indonesia.Belum begitu banyak bukti arkeologis tentang kerajaan ini untuk dapat digunakan sebagai bahan kajian sejarah.Namun beberapa sejarahwan memulai menelusuri keberadaan kerajaan ini bersumberkan dari Hikayat Raja-raja Pasai, dan ini dikaitkan dengan beberapa makam raja serta penemuan koin berbahan emas dan perak dengan tertera nama rajanya.
Kerajaan ini didirikan oleh Marah Silu, yang bergelar Sultan Malik as-Saleh, pada abad ke-13 M, sebagai hasil dari proses Islamisasi daerah-daerah pantai yang pernah disinggahi pedagang-pedagang muslim. Keberadaan kerajaan ini dibuktikan adanya batu nisan terbuat dari granit asal Samudera Pasai. Di batu itu tertulis nama raja pertama kesultanan Pasai, Malik as-Saleh. Keberadaan kerajaan ini juga tercantum dalam kitab Rihlah ilal-Masyriq (Pengembaraan ke Timur) karya Abu Abdullah ibn Batuthah (1304–1368), musafir Maroko, Ibnu Batutah yang singgah ke negeri ini pada tahun 1345 M. Ketika kerajaan Samudera Pasai berdiri, perkembangan Islam makin meluas. Samudera Pasai sebagai kerajaan Islam pertama yang mempunyai kekuatan politik dan mempunyai hubungan internasional menjadi pusat kekuatan politik Islam,dakwah Islam dan ekonomi umat Islam.[3] Rajanya mengadakan mudzakarah tentang Islam, mengimami sholat Jum’at, dan menjadikan istananya tempat berkumpul para ulama dari timur tengah, didatangi oleh penganut ilmu dan mengirimkan mubalig-mubalig ke daerah-daerah lain, mengawinkan putrinya dengan raja-raja muda kerajaan lain dalam rangka perluasan Islam.
Kesultanan Islam tertua ini menjadi pusat kegiatan keagamaan yang utama di kepulauan nusantara kala itu. Di sini pula peradaban dan kebudayaan Islam tumbuh dan mekar. Sebagai kota dagang yang makmur dan pusat kegiatan keagamaan yang utama, Pasai bukan saja menjadi tumpuan perhatian para pedagang Arab dan Parsi, tetapi juga menarik perhatian para ulama dari negeri Arab untuk datang ke kota ini dengan tujuan untuk menyebarkan agama dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
Pada mata uang dirham dari Samudera Pasai tertulis nama-nama sultan yang memerintah pada abad ke-14 dan 15 M, menurut H.K.J. Cowan adalah salah seorang yang melakukan penelitian terhadap mata uang tersebut dapat diketahui nama-nama raja yang memerintah, sebagai berikut :
1. Sultan Malik al-Saleh, memerintah sampai tahun 1207 M
2. Muhammad Malik al-Zahir ( 1297-1326 M )
3. Mahmud Malik al-Zahir ( 1326-1345 M )
4. Mansur Malik al-Zahir ( 1345-1346 M )
5. Ahmad Malik al-Zahir ( 1346-1383 M )
6. Zainal Abidin Malik al-Zahir ( 1383- 1405 M )
7. Abu Zaid Malik al-Zahir ( 1455 M )
8. Mahmud Malik al-Zahir ( 1455-1477 M )
9. Zain al-Abidin ( 1477-1500 M )
10. Abdul Malik al-Zahir ( 1501-1513 M )
11. Zain al-Abidin ( 1513-1524 M ).[4]
Kesultanan Pasai akhirnya runtuh setelah serangan Portugal pada tahun 1521. Juga ada yang bilang direbut oleh kerajaan Aceh Darussalam dibawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah.[5]
3.   Kesultanan Aceh Darussalam
Kesultanan Aceh Darussalam merupakan sebuah kerajaan Islam yang pernah berdiri di provinsi Aceh, Indonesia. Kesultanan Aceh terletak di utara pulau Sumatera dengan ibu kota Bandar Aceh Darussalam dengan sultan pertamanya adalah Sultan Ali Mughayat Syah yang dinobatkan pada Ahad, 1 Jumadil awal 913 H atau pada tanggal 8 September 1507 M. Aceh mengembangkan pola dan sistem pendidikan militer, berkomitmen dalam menentang imperialisme bangsa Eropa, memiliki sistem pemerintahan yang teratur dan sistematik, mewujudkan pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan, dan menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain.
Dari kesultanan ini, Islam kemudian tersebar ke berbagai negeri melayu lainnya. Pengaruh dan kekuasaan kesultanan Aceh Darussalam pada saat itu sangat dirasakan di kepulauan Sumatera terutama ketika kesultanan itu dibawah pemerintahan Sultan Iskandar Muda ( 1608-1637 M ). Seluruh serangan diluncurkan Portugis dapat ditangkis Sultan Aceh. Mareka juga menanamkan pengaruh Islam. Dalam sejarah dan tradisi Aceh pusat kekuasaan didirikan dan diyakini sebagai diberi dasar oleh Islam. Islam berkembang seiring dengan berdirinya kesulatanan itu. Berbeda dengan Malaka, Makasar dan kota lainnya, dimana proses Islamisasi di pusat kerajaan terjadi ketika pedagang Islam menguasai kehidupan kota berhasil menarik raja yang kafir untuk masuk Islam.
Dilihat dari aspek pengembangan agama Islam, peran Aceh tak dapat diabaikan. Seiring dengan kemakmurannya dalam bidang ekonomi, politik, dan budaya, maka perkembangan pemikiran keagamaan semakin meningkat ditandai dengan munculnya Aceh sebagai kiblat pengajaran Islam. Aceh ketika itu menjadi pusat ilmu pengetahuan di Asia Tenggara yang melahirkan nama-nama para intelektual muslim atau ulama terkenal seperti :
1. Hamzah Fansuri ( toko Tasawuf )
2. Syamsuddin al-Sumatrani
3. Nuruddin al-Raniri
4. Abdul Rauf al-Singkili.
            Sejauh menyangkut hukum, bahwa syari’at menjadi sumber hukum kala itu. Para pengunjung Eropa sering menyebutkan tentang penggunaan hukum Islam seperti hukum potong tangan bagi yang mencuri sesuai firman Allah dalam surah Al-Ma’idah
وَٱلسَّارِقُ وَٱلسَّارِقَةُ فَٱقۡطَعُوٓاْ أَيۡدِيَهُمَا جَزَآءَۢ بِمَا كَسَبَا نَكَٰلٗا مِّنَ ٱللَّهِۗ..... ٣٨
Artinya : “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah”.[6]
hukum cambuk bagi orang yang berzina, sesuai firman Allah dalam surah An-Nur
ٱلزَّانِيَةُ وَٱلزَّانِي فَٱجۡلِدُواْ كُلَّ وَٰحِدٖ مِّنۡهُمَا مِاْئَةَ جَلۡدَةٖۖ..... ٢
Artinya : “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera”...[7]
pelarangan riba, sesuai firman Allah dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah
ٱلَّذِينَ يَأۡكُلُونَ ٱلرِّبَوٰاْ لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ ٱلَّذِي يَتَخَبَّطُهُ ٱلشَّيۡطَٰنُ مِنَ ٱلۡمَسِّۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمۡ قَالُوٓاْ إِنَّمَا ٱلۡبَيۡعُ مِثۡلُ ٱلرِّبَوٰاْۗ وَأَحَلَّ ٱللَّهُٱلۡبَيۡعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰاْۚ...  ٢٧٥
Artinya : “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” .....[8]
dan penghapusan siksaan kuno seperti pencelupan kedalam minyak panas dan menjilat besi yang panas memerah bagi pelanggaran hukum.
            Kesultana Aceh mengalami kemunduran setelah Sultan Iskandar Tsani meninggal. Beberapa wilayah taklukan lepas dan kesultanan terpecah belah. Meski upaya pemulihan dilakukan, namun tidak banyak membawa kemajuan. Kemunduran kesultana Aceh selain disebabkan oleh faktor internal juga sangat dipengaruhi faktor eksternal. Sejak awal abad ke-16, kesultanan Aceh terlibat perebutan kekuasaan yang berkepanjangan, pertama dengan Portugis, lalu abad ke-18 dengan Inggris dan Belanda.[9]
4. Kesultanan Siak
Kata Siak Sri Inderapura, secara harfiah dapat bermakna pusat kota raja yg taat beragama, dalam bahasa Sanskerta, sri berarti “bercahaya” & indera atau indra dapat bermakna raja. Sedangkan pura dapat bermaksud dengan “kota” atau “kerajaan”. Siak dalam anggapan masyarakat Melayu sangat bertali erat dengan agama Islam. Kerajaan ini didirikan di Buantan oleh Raja Kecil dari Pagaruyung bergelar Sultan Abdul Jalil pada tahun 1723, sesudah sebelumnya terlibat dalam perebutan tahta Johor. Dalam perkembangannya, Kesultanan Siak muncul sebagai sebuah kerajaan bahari yang kuat & menjadi kekuatan yg diperhitungkan di pesisir timur Sumatera & Semenanjung Malaya di tengah tekanan imperialisme Eropa. Jangkauan terjauh pengaruh kerajaan ini sampai ke Sambas di Kalimantan Barat, sekaligus mengendalikan jalur pelayaran antara Sumatera & Kalimantan. Pasang surut kerajaan ini tak lepas dari persaingan dlm memperebutkan penguasaan jalur perdagangan di Selat Malaka.
Munculnya VOC sebagai penguasa di Malaka, Siak diklaim oleh Johor sebagai bagian wilayah kedaulatannya sampai munculnya Raja Kecil. Dalam Syair Perang Siak, Raja Kecil putra Pagaruyung, didaulat menjadi penguasa Siak atas mufakat masyarakat di Bengkalis, sekaligus melepaskan Siak dari pengaruh Johor. Sementara Raja Kecil dlm Hikayat Siak disebut juga dengan sang pengelana pewaris Sultan Johor yg kalah dlm perebutan kekuasaan. Berdasarkan korespodensi Sultan Indermasyah Yang Dipertuan Pagaruyung dengan Gubernur Jenderal Belanda di Melaka waktu itu, menyebutkan bahwa Sultan Abdul Jalil merupaken saudaranya yg diutus untuk urusan dagang dengan pihak VOC.
Kemajuan Perdagangan Kesultanan Siak
Kesultanan Siak Sri Inderapura mengambil keuntungan atas pengawasan perdagangan melalui Selat Melaka serta kemampuan mengendalikan para perompak di kawasan tersebut. Kemajuan perekonomian Siak terlihat dari catatan Belanda yg menyebutkan pada tahun 1783, ada sekitar 171 kapal dagang dari Siak menuju Malaka. Siak menjadi kawasan segitiga perdagangan antara Belanda di Malaka & Inggris di Pulau Pinang. Namun disisi lain kejayaan Siak ini memberi kecemburuan pada keturunan Yang Dipertuan Muda terutama sesudah hilangnya kekuasaan mereka pada kawasan Kepulauan Riau. Sikap ketidaksukaan & permusuhan terhadap Sultan Siak, terlihat dlm Tuhfat al-Nafis, di mana dlm deskripsi ceritanya mereka mengambarkan Sultan Siak sebagai orang yg rakus akan kekayaan dunia. Peranan Sungai Siak sebagai bagian kawasan inti dari kerajaan ini berpengaruh besar terhadap kemajuan perekonomian Siak Sri Inderapura.
Masa Kejayaan Sultan Siak
Dengan klaim sebagai pewaris Malaka, pada tahun 1724-1726 Sultan Abdul Jalil melakukan perluasan wilayah, dimulai dengan memasukan Rokan ke dlm wilayah Kesultanan Siak, membangun pertahanan armada laut di Bintan. Namun tahun 1728 atas perintah Raja Sulaiman, Yang Dipertuan Muda bersama pasukan Bugisnya, berhasil menekan Raja Kecil keluar dari kawasan kepulauan. Raja Sulaiman kemudian menjadikan Bintan sebagai pusat pemerintahannya & atas keberhasilan itu Yang Dipertuan Muda diberi kedudukan di Pulau Penyengat. Sementara Raja Kecil terpaksa melepas hegemoninya pada kawasan kepulauan & mulai membangun kekuatan baru pada kawasan sepanjang pesisir timur Sumatera. Antara tahun 1740-1745, Raja Kecil kembali bangkit & menaklukan beberapa kawasan di Semenanjung Malaya.
Pengaruh Raja Ismail di kawasan Melayu sangat signifikan mulai dari Terengganu, Jambi & Palembang. Laporan Belanda menyebutkan Palembang telah membayar 3000 ringgit kepada Raja Ismail agar jalur pelayarannya aman dari gangguan, sementara Hikayat Siak menceritakan tentang kemeriahan sambutan yg diterima oleh Raja Ismail sewaktu kedatangannya ke Palembang. Pada abad ke-18 Kesultanan Siak telah menjadi kekuatan yg dominan di pesisir timur Sumatera. Tahun 1780 Kesultanan Siak menaklukkan daerah Langkat, & menjadikan wilayah tersebut dlm pengawasannya, termasuk wilayah Deli & Serdang. Di bawah ikatan perjanjian kerjasama dengan VOC, pada tahun 1784 Kesultanan Siak membantu VOC menyerang & menundukkan Selangor, sebelumnya mereka telah bekerjasama memadamkan pemberontakan Raja Haji Fisabilillah di Pulau Penyengat.
Diantara Sultan Siak Sri Inderapura
1889-1908 M Yang Dipertuan Besar Syarif Hasyim Abdul Jalil Saifuddin
Sultan Syarif Hasyim Meresmikan Istana Siak Sri Inderapura
1915-1945 M Yang Dipertuan Besar Syarif Kasyim Abdul Jalil Saifuddin
Sultan Syarif Kasim II Menyerahkan kerajaannya pada pemerintah Republik Indonesia
Struktur Pemerintahan
Pengaruh Kerajaan Pagaruyung, juga mewarnai sistem pemerintahan pada Kesultanan Siak, sesudah Sultan Siak, terdapat Dewan Menteri yg mirip dengan kedudukan Basa Ampek Balai di Minangkabau. Dewan Menteri ini memiliki kekuasaan untuk memilih & mengangkat Sultan Siak, sama dengan Undang Yang Ampat di Negeri Sembilan. Dewan Menteri bersama dengan Sultan menetapkan undang-undang serta peraturan bagi masyarakatnya.
Dewan menteri ini terdiri dari:
1. Datuk Tanah Datar
2. Datuk Limapuluh
3. Datuk Pesisir
4. Datuk Kampar
Naskah ini terdiri dari 33 halaman yg panjang serta ditulis dengan Abjad Jawi. Ingat Jabatan merupaken dokumen resmi Siak Sri Inderapura yg dicetak di Singapura, berisi rincian tanggung jawab dari berbagai posisi atau jabatan di pemerintahan mulai dari pejabat istana, wakil kerajaan di daerah jajahan, pengadilan maupun polisi. Pada bagian akhir dari setiap uraian tugas para birokrat tersebut ditutup dengan peringatan serta perintah untuk tak khianat kepada sultan & nagari. Perkembangan selanjutnya, Siak Sri Inderapura juga menerbitkan salah satu kitab hukum atau undang-undang, dikenal dengan nama Bab al-Qawa’id. Kitab ini dicetak di Siak tahun 1901, menguraikan hukum yg dikenakan kepada masyarakat Melayu & masyarakat lain yg terlibat perkara dengan masyarakat Melayu.
Namun tak mengikat orang Melayu yang bekerja dengan pihak pemerintah Hindia-Belanda, di mana jika terjadi permasalahan akan diselesaikan secara bilateral antara Sultan Siak dengan pemerintah Hindia-Belanda. Dalam pelaksanaan masalah pengadilan umum di Kesultanan Siak diselesaikan melalui Balai Kerapatan Tinggi yg dipimpin oleh Sultan Siak, Dewan Menteri & dibantu oleh Kadi Siak serta Controleur Siak sebagai anggota.
Pengaruh Islam & keturunan Arab mewarnai Kesultanan Siak, salah satunya keturunan Al-Jufri yg bergelar Bendahara Patapahan. Pada kawasan tertentu di Siak Sri Inderapura, ditunjuk Kepala Suku yg bergelar Penghulu, dibantu oleh Sangko Penghulu, Malim Penghulu serta Lelo Penghulu. Sementara terdapat juga istilah Batin, dengan kedudukan yg sama dengan Penghulu, namun memiliki kelebihan hak atas hasil hutan yg tak dimiliki oleh Penghulu. Batin ini juga dibantu oleh Tongkat, Monti & Antan-antan.
Siak Sri Inderapura sampai sekarang tetap diabadikan sebagai nama ibu kota dari Kabupaten Siak, & Balai Kerapatan Tinggi yg dibangun tahun 1886 serta Istana Siak Sri Inderapura yg dibangun pada tahun 1889, masih tegak berdiri sebagai simbol kejayaan masa silam, termasuk Tari Zapin & Tari Olang-olang yg pernah mendapat kehormatan menjadi pertunjukan utama untuk ditampilkan pada setiap perayaan di Kesultanan Siak Sri Inderapura. Begitu juga nama Siak masih melekat merujuk kepada nama sebuah sungai di Provinsi Riau sekarang, yaitu Sungai Siak yg bermuara pada kawasan timur pulau Sumatera.
B. Kesultanan Islam di Jawa
1.  Kesultanan Demak
Kesultanan Demak  adalah kerajaan Islam pertama di Jawa pada abad ke-15. Menurut tradisi Jawa, Demak sebelumnya merupakan kadipaten dari kerajaan Majapahit, kemudian muncul sebagai kekuatan baru mewarisi legitimasi dari kebesaran Majapahit.Kerajaan ini tercatat menjadi pelopor penyebaran agama Islam di pulau Jawa dan Indonesia pada umumnya.
Raden Patah adalah raja pertama kesultanan Demak. Kesultanan Demak lambat laun menjadi pusat perkembangan agama Islam yang diramaikan oleh para wali songo. Di era wali songolah berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Para ulama yang membantu raja dalam melaksanakan roda pemerintahan, terutama terkait persoalan-persoalan agama. Ketika kesultanan Demak hendak didirikan, Sunan Ampel ( Raden Rahmat ) turut membantu berdirinya kerajaan Islam pertama di Jawa itu. Dia juga mendirikan pesantren yang diantara santrinya Sunan Giri dan Raden Patah. Sunan Ampel memberikan pengajaran sederhana yang menekankan pada penanaman akidah dan ibadah. Dia-lah yang mengenalkan istilah “ Moh Limo “ ( moh main, moh ngombe, moh maling, moh madat, moh madon ). Yakni seruan untuk tidak berjudi, tidak meminum minuman keras, tidak mencuri, tidak menggunakan narkotika, dan tidak berzina.
Raden Patah digantikan oleh anaknya Pati Unus sekitar tahun 1507. Visi besarnya menjadikan Demak sebagai kesultanan maritim yang besar. Pada masa kepemimpinannya, Demak merasa terancam dengan pendudukan Portugis di Malaka.
Walau tidak berumur panjang dan segera mengalami kemunduran karena terjadi perebutan kekuasaan di antara kerabat kerajaan. Pada tahun 1568, kekuasaan Demak beralih ke Kerajaan Pajang yang didirikan oleh Jaka Tingkir. Salah satu peninggalan bersejarah Kerajaan Demak ialah Mesjid Agung Demak, yang menurut tradisi didirikan oleh Walisongo.
2.   Kesultanan Pajang
Kerajaan Pajang adalah satu kerajaan yang berpusat di Jawa Tengah sebagai kelanjutan Kerajaan Demak, yang didirikan oleh Jaka Tingkir yang bergelar Sultan Adiwijaya pada tahun 1549 M. Kompleks keratonnya pada zaman ini tinggal tersisa berupa batas-batas fondasinya saja yang berada di perbatasan Kelurahan Pajang - Kota Surakarta dan Desa Makamhaji, Kartasura, Sukoharjo. Kekuasaan kesutanan ini berahasil meluas ke berbagai daerah pedalaman sampai ke Madiun, Blora dan Kediri. Pada tahun 1581 ia mendapat pengakuan dari para raja di Jawa sebagai raja Islam.
Sepeninggal Sultan Adiwijaya, terjadi persaingan antara putra dan menantunya, yaitu pangeran Benawa dan Arya Pangiri sebagai raja selanjutnya. Kehidupan rakyat Pajang terabaikan. Pada saat itu Arya Pangiri kalah dan dikembalikan ke Demak, sementara pangeran Benawa menjadi raja. Pemerintahannya berakhir pada tahun 1587, tidak ada putra mahkota yang menggantikan sehingga Pajang berada dibawah perlindungan Mataram.
3.  Kesultanan Mataram
Kesultanan Mataram adalah kerajaan Islam di Pulau Jawa yang pernah berdiri pada abad ke-16. Kerajaan ini dipimpin suatu dinasti keturunan Ki Ageng Sela dan Ki Ageng Pemanahan, yang mengklaim sebagai suatu cabang ningrat keturunan penguasa Majapahit. Asal-usulnya adalah suatu Kadipaten di bawah Kesultanan Pajang, berpusat di "Bumi Mentaok" yang diberikan kepada Ki Ageng Pemanahan sebagai hadiah atas jasanya. Raja berdaulat pertama adalah Sutawijaya (Panembahan Senopati), putra dari Ki Ageng Pemanahan. Panembahan  Senopati ini menandai jejak terislamkannya tanah yang sejak ratusan tahun lalu beranama Mataram yang kental dengan warna Hindu-Budhanya.
Semula wilayah kekuasaan Mataram terbatas pada wilayah Jawa Tengah sekarang, mewarisi bekas wilayah kekuasaan Pajang. Tahun 1619 ketika Mataram dibawah pemerintahan Sultan Agung, praktis seluruh tanah Jawa berada dibawah kesultanan ini termasuk Madura. Pada masa itu pula di kesultanan Mataram dilakukan perubahan tata hukum dibawah pengaruh hukum Islam. Peradilan perdata Hindu dirubah menjadi peradilan surambi bertempat di surambi masjid Agung. Perkara kejahatan yang menjadi urusan peradilan ini ditetapkan menurut kitab Kisas yaitu kitab undang-undang hukum Islam pada masa Sultan Agung.
Kerajaan Mataram pada masa keemasannya pernah menyatukan tanah Jawa dan sekitarnya, termasuk Madura. Negeri ini pernah memerangi VOC di Batavia untuk mencegah semakin berkuasanya firma dagang itu, namun ironisnya malah harus menerima bantuan VOC pada masa-masa akhir menjelang keruntuhannya.
Mataram merupakan kerajaan berbasis agraris/pertanian dan relatif lemah secara maritim. Ia meninggalkan beberapa jejak sejarah yang dapat dilihat hingga kini, seperti kampung Matraman di Batavia/Jakarta, sistem persawahan di Pantura Jawa Barat, penggunaan hanacaraka dalam literatur bahasa Sunda, politik feodal di Pasundan, serta beberapa batas administrasi wilayah yang masih berlaku hingga sekarang.
Pada tahun 1677 dan 1678 M pemberontakan para ulama dengan penguasa ini menyebabkan melemahnya kekuasaan Mataram disamping konflik yang terjadi diantara bangsawan keraton, dimana VOC selalu siap mencari keuntungan.
4.   Kesultanan Cirebon
Kesultanan Cirebon adalah sebuah kesultanan Islam ternama di Jawa Barat pada abad ke-15 dan 16 Masehi, dan merupakan pangkalan penting dalam jalur perdagangan dan pelayaran antar pulau. Lokasinya di pantai utara pulau Jawa yang merupakan perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Barat, membuatnya menjadi pelabuhan dan "jembatan" antara kebudayaan Jawa dan Sunda sehingga tercipta suatu kebudayaan yang khas, yaitu kebudayaan Cirebon yang tidak didominasi kebudayaan Jawa maupun kebudayaan Sunda.
Kesultanan Cirebon didirikan oleh Sunan Gunung Jati atau dikenal dengan Syarif Hidayatullah. Ia memperlihatkan peran ganda yakni sebagai penguasa sekaligus ulama. Dia mengatur roda pemerintahan dan memiliki orientasi politik terhadap Cirebon. Sebagai daerah pesisir, Cirebon sejak sebelum dan sesudah masuknya Islam merupakan pelabuhan yang penting di pesisir utara Jawa. Di awal abad ke-16 Cirebon masih daerah kecil dibawah kekuasaa  Pajajaran. Setelah Cirebon resmi berdiri sebagai kerajaan Islam yang bebas dari kekuasaan Pajajaran, Sunan Gunung Jati berusaha meruntuhkan kerajaan Pajajaran yang masih belum menganut Islam. Ia mengembangkan Islam sampai ke Kawali, Majalengka, Kuningan, Sunda Kelapa, Banten. Sunan Gunung Jati meletakkan dasar bagi pengembangan Islam dan perdagangan kaum muslim di Banten. Banten diserahkan kepada anaknya Sultan Hasanuddin.
5.   Kesultanan Banten
Kesultanan Banten adalah sebuah kerajaan Islam yang pernah berdiri di Tatar Pasundan, Provinsi Banten, Indonesia. Berawal sekitar tahun 1526, ketika Kerajaan Demak memperluas pengaruhnya ke kawasan pesisir barat Pulau Jawa, dengan menaklukan beberapa kawasan pelabuhan kemudian menjadikannya sebagai pangkalan militer serta kawasan perdagangan.
Maulana Hasanuddin, putera Sunan Gunung Jati berperan dalam penaklukan tersebut. Setelah penaklukan tersebut, Maulana Hasanuddin mendirikan benteng pertahanan yang dinamakan Surosowan, yang kemudian hari menjadi pusat pemerintahan setelah Banten menjadi kesultanan yang berdiri sendiri.
Selama hampir 3 abad Kesultanan Banten mampu bertahan bahkan mencapai kejayaan yang luar biasa, yang diwaktu bersamaan penjajah dari Eropa telah berdatangan dan menanamkan pengaruhnya. Perang saudara, dan persaingan dengan kekuatan global memperebutkan sumber daya maupun perdagangan, serta ketergantungan akan persenjataan telah melemahkan hegemoni Kesultanan Banten atas wilayahnya.
A.C Milner mengatakan pada abad 17 M, Banten dan Aceh adalah kerajaan Islam di nusantara yang paling ketat melaksanakan hukum Islam sebagai hukum negara. Di Banten hukuman terhadap pencuri dengan memotong tangan kanan, kaki kiri, tangan kiri dan seterusnya berturut-turut bagi pencurian senilai 1 gram emas, dibawah kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa.
Kekuatan politik Kesultanan Banten akhir runtuh pada tahun 1813 setelah sebelumnya Istana Surosowan sebagai simbol kekuasaan di Kota Intan dihancurkan, dan pada masa-masa akhir pemerintanannya, para Sultan Banten tidak lebih dari raja bawahan dari pemerintahan kolonial di Hindia Belanda.[10]
C. Kesultanan Islam di Maluku
1.   Kesultanan Ternate
Kesultanan Ternate atau juga dikenal dengan Kerajaan Gapi Buguna adalah salah satu dari kerajaan Islam di Kepulauan Maluku. Pada masa Ternate dibawah pemerintahan Sultan Khairun, tahun 1564 diadakan perjanjian dengan Portugis bahwa Ternate dibawah perlindungan kerajaan Portugis. Pada tahun 1565, Sultan Khairun memaklumkan perang Sabil melawan kesewenangan de Mesquita seorang gubernur Portugis di Ternate. Karena terdesak, Portugis mengadakan perjanjian tetapi ketika penandatanganan perjanjian tersebut Sultan Khairun dibunuh.
Pengganti Sultan Khairun adalah Sultan Babullah. Ia memaklumkan perang secara total terhadap Portugis. Perang tersebut dimenangkan oleh Ternate pada tahun 1575 M.Kesultanan Ternate memiliki peran penting di kawasan timur Nusantara antara abad ke-13 hingga abad ke-17. Kesultanan Ternate menikmati kegemilangan di paruh abad ke-16 berkat perdagangan rempah-rempah dan kekuatan militernya. Di masa jaya kekuasaannya membentang mencakup wilayah Maluku, Sulawesi bagian utara, timur dan tengah, bagian selatan kepulauan Filipina hingga sejauh Kepulauan Marshall di Pasifik.
2.  Kesultanan Tidore
Kesultanan Tidore adalah kerajaan Islam yang berpusat di wilayah Kota Tidore, Maluku Utara, Indonesia sekarang. Raja Tidore yang pertama kali masuk Islam adalah Cirali Lijtu, yang kemudian berganti nama menjadi Sultan Jamaludin. Pada masa kejayaannya (sekitar abad ke-16 sampai abad ke-18), kerajaan ini menguasai sebagian besar Pulau Halmahera selatan, Pulau Buru, Pulau Seram, dan banyak pulau-pulau di pesisir Papua barat.
Pada tahun 1521, putra dari Sultan Jamaluddin, Sultan Mansur dari Tidore menerima Spanyol sebagai sekutu untuk mengimbangi kekuatan Kesultanan Ternate saingannya yang bersekutu dengan Portugal. Setelah mundurnya Spanyol dari wilayah tersebut pada tahun 1663 karena protes dari pihak Portugal sebagai pelanggaran terhadap Perjanjian Tordesillas 1494, Tidore menjadi salah kerajaan paling merdeka di wilayah Maluku. Terutama di bawah kepemimpinan Sultan Saifuddin (memerintah 1657-1689), Tidore berhasil menolak pengusaan VOC terhadap wilayahnya dan tetap menjadi daerah merdeka hingga akhir abad ke-18.
3.  Kesultanan Bacan
Kesultanan Bacan adalah suatu kerajaan yang berpusat di Pulau Bacan, Kepulauan Maluku pada tahun 1521. Raja Bacan pertama yang memeluk Islam adalah Raja Zainul Abidin yang bersyahadat pada tahun 1521. Meski berada di Maluku, wilayahnya cukup luas hingga ke wilayah Papua Barat. Banyak kepala suku di wilayah Waigeo, Misool yang terletak di Raja Ampat dan beberapa daerah lain yang berada di bawah administrasi pemerintahan kerajaan Bacan. Ketika Portugis menguasai Maluku, sultan-sultan Bacan dipaksa untuk masuk agama Kristen.
D. Kesultanan Islam di Kalimantan
1.   Kesultanan Banjar
Kesultanan Banjar atau Kesultanan Banjarmasin (berdiri pada tahun 1595) dengan penguasa pertama Sultan Suriansyah. Rakyat Banjar tetap mengakui ada pemerintahan darurat/pelarian yang baru berakhir pada 24 Januari 1905. Namun sejak 24 Juli 2010, Kesultanan Banjar hidup kembali dengan dilantiknya Sultan Khairul Saleh.
Kerajaan Banjar adalah sebuah kesultanan wilayahnya saat ini termasuk ke dalam provinsi Kalimantan Selatan, Indonesia. Kesultanan ini semula beribukota di Banjarmasin kemudian dipindahkan ke beberapa tempat dan terkahir diMartapura. Ketika beribukota di Martapura disebut juga Kerajaan Kayu Tangi.Ketika ibukotanya masih di Banjarmasin, maka kesultanan ini disebut Kesultanan Banjarmasin. Kesultanan Banjar merupakan penerus dari Kerajaan Negara Daha yaitu kerajaan Hindu yang beribukota di kota Negara, sekarang merupakan ibukota kecamatan Daha Selatan, Hulu Sungai Selatan.Penyebaran Islam secara luas dilakukan oleh Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari, seorang ulama yang menjadi mufti besar Kalimantan.
3.  Kesultanan Kutai
Kesultanan Kutai atau lebih lengkap disebut Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura (Martapura) yang terletak di sekitar sungai Mahakam bagian timur. Awalnya Kutai merupakan kerajaan yang dipengaruhi ajaran Hindu dan Budha. Islam berkembang pada masa kepemimpinan Aji Raja Mahkota ( 1525-1600 M ).
Tuan di Bandang yang dikenal dengan Dato’ Ri Bandang dari Makassar dan Tuan Tunggang Parangan adalah merupakan penyebar agama Islam di Kutai. Melalui dua orang tersebut Raja Mahkota tunduk kepada keimanan Islam. Setelah itu dibangun sebuah masjid dan pengajaran agama. Yang pertama kali mendapat pengajaran itu adalah Raja Mahkota sendiri, kemudian pangeran, para menteri, panglima dan hulubalang, dan rakyat.
Kesultanan ini mencapai puncak kejayaan pada masa kesultanan Aji Sultan Muhammad Salehuddin ( 1780-1850 M ). Kesultanan ini mengalami kemunduran setelah Aji Sultan Muhammad Salehuddin meninggal dunia. Peninggalan sejarah Kutai berupa makam para sultan di Kutai lama. Dihidupkannya kembali Kesultanan Kutai ditandai dengan dinobatkannya sang pewaris tahta yakni putera mahkota Aji Pangeran Prabu Anum Surya Adiningrat menjadi Sultan Kutai Kartanegara ing Martadipura dengan gelar Sultan Aji Muhammad Salehuddin II pada tanggal 22 September 2001.
E. Kesultanan Islam di Sulawesi
1.  Kesultanan Gowa
Kesultanan Gowa atau kadang ditulis Goa, adalah salah satu kerajaan besar dan paling sukses yang terdapat di daerah Makassar, Sulawesi Selatan. Raja Goa yang mula masuk Islam adalah Kareang Tonigallo, yang bergelar Sultan Alauddin Awwalun Islam. Rakyat dari kerajaan ini berasal dari Suku Makassar yang berdiam di ujung selatan dan pesisir barat Sulawesi bagian selatan. Wilayah kerajaan ini sekarang berada di bawah Kabupaten Gowa dan beberapa bagian daerah sekitarnya.
Kerajaan ini memiliki raja yang paling terkenal bergelar Sultan Hasanuddin, yang saat itu melakukan peperangan yang dikenal dengan Perang Makassar (1666-1669) terhadap VOC yang dibantu oleh Kesultanan Bone yang dikuasai oleh satu wangsa (dinasti) Suku Bugis dengan rajanya, Arung Palakka. Perang Makassar bukanlah perang antarsuku karena pihak Gowa memiliki sekutu dari kalangan Bugis, demikian pula pihak Belanda-Bone memiliki sekutu orang Makassar. Perang Makassar adalah perang terbesar VOC yang pernah dilakukannya pada abad ke-17.
2.  Kesultanan Buton
Kesultanan Buton terletak di Kepulauan Buton (Kepulauan Sulawesi Tenggara) Provinsi Sulawesi tenggara, di bagian tenggara Pulau Sulawesi pada abad ke-16. Pada zaman dahulu memiliki kerajaan sendiri yang bernama kerajaan Buton dan berubah menjadi bentuk kesultanan yang dikenal dengan nama Kesultanan Buton. Nama Pulau Buton dikenal sejak zaman pemerintahan Majapahit, Patih Gajah Mada dalam Sumpah Palapa, menyebut nama Pulau Buton.
Penyebaran Islam secara luas dilakukan oleh Syaikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman Al-Pathani, seorang ulama dari kesultanan Johor. Peninggalan sejarah kesultanan Buton berupa Benteng Kraton dan Batu poaro yaitu batu tempat berkhalwat (mengasingkan diri).
F. Kesultanan Islam di Luar Indonesia
1. Kesultanan Malaka
          Menurut HAMKA, raja Malaka yang pertama adalah seorang raja Hindu Permaisura ( Parameswara ), ia dikenal sebagai raja yang pernah bertahta di kerajaan Singapura. Ketika Sayid Abdul Aziz seorang ulama dari Jeddah mengajak masuk Islam, diterimanyalah ajakan tersebut. Setelah masuk Islam Parameswara bergelar Megat Iskandar Syah.
            Kesultanan Malaka menjadi maju dalam perdagangan karena Malaka sebagai kota pelabuhan yang dikunjungi banyak pedagang dan sebagai pusat transit perdagangan di wilayah Asia Tenggara. Sebagai kota dagang yang ramai dikunjungi, pelabuhan Malaka memberi kesempatan kepada para pedagang asing untuk membuka perwakilan dagang di kota Malaka. Di samping menjalankan dagang untuk memperoleh keuntungan, mareka juga dapat mengenal dari dekat cara hidup orang-orang muslim di Malaka bagi yang berminat mendapat kesempatan untuk belajar agama dan memeluk Islam. Kesultanan Malaka ketika itu juga sebagai salah satu pusat penyebaran agama Islam ke berbagai wilayah lain di Asia Tenggara.
            Dalam budaya melayu, unsur-unsur Islam juga menjadi demikian dominan apakah itu dibidang seni, bahasa, sastra, musik, pakaian, dan kebiasaan. Dari beberapa peninggalan sejarah dapat dicermati bahwa produk budaya yang dibawa oleh Islam seperti tulisan Arab memberi sumbangan yang besar bagi perkembangan budaya melayu. Informasi tentang melayu, masyarakatnya, kehidupan sosial, ekonomi, budaya, politik, dan keagamaannya sampai pada masyarakat masa kini adalah melaui tulisan Arab. Selain itu, perbendaharaan sastra dan tradisi lisan melayu juga memunyai andil dalam perkembangan Islam seperti karya Sejarah Melayu, Hikayat raja-raja Pasai, Hikayat Iskantar Zulkarnain, dan lain-lain.
            Dalam mayarakat Hindu pra Islam, terdapat suatu keyakinan yang mengagungkan penguasa. Penguasa dipandang sebagai keturunan dewa atau bayangan tuhan. Penyebaran mitos misalnya mitos bahwa “raja” adalah “titisan dewa” atau membrontak penguasa dianggap sebagai suatu tindakan penghianatan dan merupakan dosa yang tak terampuni. Pada masa kesultanan ini budaya politik melayu secara berangsur-angsur mulai dipengaruhi dan diwarnai oleh pandangan dan ajaran agama Islam.
Dalam kitab undang-undang Malaka menyebutkan penguasa sebagi “Khalifat al-mu’minin, zill Allah fi al-alam” yang artinya khalifah kaum muslimin, bayang-bayang Allah di muka bumi. Ini mengandung makna bahwa sultan bertanggungjawab langsung kepada tuhan untuk memelihara dan mengembangkan agama Islam. Dalam slogan melayu yang sudah terkenal luas sehingga menjadi pepatah : “raja adil raja disembah, raja zalim raja disanggah”. Ini berarti kekuasaan sultan melayu bukan tanpa batas. Dalam Islam batas kepatuhan terhadap penguasa telah didefinisikan secara jelas dalam ayat al-qur’an yang membawa pesan “ tidak ada ketundukan kepada makhluk jika hal itu menyebabkan keingkaran kepada khalik”.
            Undang-undang Malaka yang disebut Hukum Kanun Malaka, disusun pada masa pemerintahan Sultan Muzaffar Shah, yang berisi hukum Islam, baik yang terkait dengan perdata maupun pidana.
Pemetaan 4 unsur/komponen Undang-undang Malaka
Dari bagan tersebut  dapat dilihat bahwa Undan-undang Malaka terdiri dari 4 unsur (komponen) yaitu :
1.       Hukum Adat yang meliputi kebiasaan, moral, etika, peraturan-peraturan resmi   (tidak tertulis)
2.       Naskah dan dokumentasi Undang-undang tertulis
3.       Undang-undang Islam
4.       Titah Raja, patik, murka, karunia dan nugraha.
Acuan pada syari’at Islam terlihat dengan  jelas terutama dalam bidang jinayah (pembunuhan, pencurian, fitnah, zina, murtad, minuman keras), kekeluargaan, undang-undang keterangan dan acara dan syarat-syarat kelayakan raja.
Untuk menyebutkan beberapa contoh, diantara pasal-pasalnya berbunyi :
Pasal ke 5 : orang yang membunuh dengan tiada setahu raja atau orang besar-besar, jikalau dibunuhnya dengan tiada dosanya sekalipun dibunuh pula ia pada hukum Allah, maka adil namanya.
Pasal ke 7 :  adapun pada hukum Allah orang yang mencuri itu tiada harus dibunuh melainkan dipotong tangan.
Pasal ke 12 : adapun hukum orang yang menuduh orang berzina itu pada hukum Allah didera 80 kali deranya. Jikalau pada hukum kanun didenda 10 tahil.
Pasal ke 37 : hukum saksi yang harusnya di atas 4 martabat. Pertama tahu ia akan halal dan haram, kedua tahu ia akan sunah dan fardhu, ketiga tahu ia akan salah dan benar, keempat tahu ia akan baik dan jahat. Itu lah harus diperbuat saksi.
            Adapun sultan-sultan yang pernah memerintah pada kesultanan Malaka adalah sebagai berikut:
1. Parameswara ( Megat Iskandar Syah ) ( 1402-1424 )
2. Sultan Muhammad Syah ( 1424- 1444 )
3. Sri Parameswara Dewa Syah ( 1444-1446 )
4. Sultan Muzaffar Syah ( 1446-1459 )
5. Sultan Mansyur Syah ( 1459-1477 )
6. Sultan Alauddin Riayat Syah ( 1477-1488 )
7. Sultan Mahmud Syah ( 1488- 1528 ).
2. Kesultanana Johor
            Kesultanan Johor berdiri setelah Kesultanan Malaka dikalahkan oleh Portugis tahun 1511 M. Sultan Alaudin Riayat Syah membangun kesultanan Johor sekitar tahun 1530-1536. Masa kejayaan kesultanan ini terjadi pada masa pemerintahan Sultan Abdul Jalil Riayat Syah II. Kesultanan Johor memperkuat didrinya dengan mengadakan aliansi bersama kesultanan Riau sehingga disebut kesultanan Johor-Riau. Kesultanan Johor-Riau berakhir setelah Raja Haji wafat dan wilayahnya dikuasai oleh Belanda.
            Kesultanan Johor merupakan kerajaan yang gigih mengadakan perlawanan terhadap penjajahan Portugis. Pada pemerintahan Sultan Abdul Jalil Riayat Syah I, kerajaan ini sangat disegani penjajah. Demikian pula pada masa pemerintahan Sultan Abdul Jalil Riayat Syah II, kesultanan Johor mengalami puncak kemegahannya.
3. Kesultanan Brunei Darussalam
            Raja Brunei pertama adalah Awang Betatar yang tertarik menerima Islam dan mengganti namanya menjadi Sultan Muhammad Syah, lalu seluruh keluarga istana masuk Islam. Kesultanan Brunei menjadi pusat penyebaran Islam dan perdagangan di Kepulauan Melayu. Di zaman pemerintahan Sultan Bolkiah ( 1473-1521 M ) sultan Brunei ke-5, Brunei berkembang menjadi suatu kerajaan yang kuat dan maju.
            Sultan Bolkiah gemar mengadakan ekspedisi pelayaran hingga diberi gelar Nahkoda Ragam. Pada tahun 1564 Gubernur Spanyol Francesco de sande memperingatkan pemerintah Brunei agar tidak melakukan aktivitas dakwah Isla ke dalam daerah kekuasaannya di kepulauan Sulu-Mindanao dan Filipina yang berada di bawah kekuasaannya.
            Brunei merdeka sebagai negara Islam di bawah pimpinan Sultan Hasanal Bolkiah Muizaddin Waddaulah. Panggilan resmi kenegaraan Sultan adalah Kebawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri Baginda Sultan dan Yang Dipertuan Negara. Gelar Muizaddin Waddaulah ( penata agama dan negara ) merupakan ciri sebutan yang selalu melekat pada setiap raja yang memerintah di Brunei.
4. Kesultanan Islam Sulu
            Kesultanan Sulu merupakan kesultanan Islam yang terletak di Filipina bagian selatan. Islam masuk dan berkembang di Sulu melalui orang Arab yang melewati jalur perdagangan Malaka dan Filipina. Pembawa Islam di Sulu adalah Syarif Karim Al-Makdum, mubaligh Arab yang ahli ilmu pengobatan. Abu Bakar, seorang da’i dari Arab menikah dengan putri dari pengeran Bwansa dan kemudian memerintah di Sulu dengan mengangkat dirinya sebagai Sultan.
            Di dalam silsilah Sultan Sulu secara jelas dinyatakan bahwa Sayid Abu Bakar dijadikan sultan. Hal tersebut menunjukkan bahwa penduduk Bwansa dan pemimpin-pemimpin mareka pastilah orang yang telah memeluk agama Islam dan memiliki kemauan untuk menerima suatu kerajaan Islam di negerinya. Oleh karena itu, Islam diterapkan oleh Sayid Abu Bakar baik di pemerintahan maupun dalam kehidupan masyarakanya.
            Para penguasa kesultanan Sulu di Filipina Selatan yang dimulai sejak Syarif Abu Bakar ( Sultan Syarif Al-Hasyim ) tahun 1405-1420 M hingga Sultan Jamalul Kiram II tahun 1887 berjumlah 32 Sultan.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
            Perkembangan Islam awal di Asia Tenggara dapat diklasifikasikan menjadi tiga fase, pertama adalah fase singgahnya para pedagang muslim di pelabuhan-pelabuhan Asia Tenggara, kedua adanya komunitas-komunitas muslim di berbagai daerah di Nusantara, ketiga adalah fase berdirinya kerajaan-kerajaan Islam (kesultanan) di Asia Tenggara.
            Proses Islamisasi di Asia Tenggara tidak dapat dilepaskan dari peranan kesultanan (kerajaan Islam). Berawal ketika raja setempat memeluk Islam, selanjutnya diikuti para pembesar istana, kaum bangsawan, perdana menteri, panglima, hulubalang dan kemudian rakyatnya. Dalam perkembangan selanjutnya, kesultanan memainkan peran penting tidak hanya dalam pemapanan kesultanan sebagai institusi politik muslim, pembentukan dan pengembangan institusi muslim lainnya, seperti pendidikan dan hukum (peradilan agama) tetapi juga dalam peningkatan syiar dan dakwah Islam.
Sejak kehadirannya, kesultanan Islam menjadi kekuatan vital dalam perdagangan bebas internasional dan tidak lepas juga dengan syiar agama yang dibawa oleh saudagar dan ulama muslim. Dalam hal ini kesultanan mencapai kemakmuran yang pada gilirannya sangat menentukan bagi perkembangan Islam secara keseluruhan di Asia Tenggara.
Adapun Malaka dikenal sebagai pintu gerbang Nusantara. Julukan ini diberikan sebagai jalan lalu lintas antara Asia Timur dan Asia Barat bagi para pedagang yang hendak keluar masuk pelabuhan di Asia Tenggara. Sedangkan Aceh menjadi pintu masuk para pendatang Islam sehingga mendapat julukan Serambi Mekah.
           
DAFTAR PUSTAKA
Helmiati, (2011). Sejarah Islam Asia Tenggara, Pekanbaru: ZANAFA Publishing.
Amin, Samsul Munir, (2010). Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : AMZAH.
Sunanto, Musayrifah. (2010). Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers.
Yatim Badri, (2010). Dirasah Islamiyah II, Jakarta : Rajawali Pers.



[1]Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, ( Jakarta : AMZAH, 2010 ), hlm. 331.
[2]Ibid., hlm. 332.
[3]Musyarifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, ( Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm.24
[4]Helmiati, Sejarah Islam Asia Tenggara, ( Pekanbaru : Suska Press, 2011 ), hlm. 23.
[5]Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, ( Jakarta : AMZAH, 2010 ), hlm. 333.
[6]Q.S. Al-Ma’idah : 38
[7] Q.S. An-Nur : 2
[8]Q.S. Al-Baqarah : 275
[9]Helmiati, Op.Cit., hlm. 43-44.
           [10]Helmiati, Sejarah Islam Asia Tenggara, ( Pekanbaru : Suska Press, 2011 ), hlm. 57-59.



 Baca Juga:

Bank Umum Syariah (Perbankan Syariah)
Mudharabah (Bagi Hasil)
UU No. 21 Tahun 2011 tentang OJK
Struktur dan Lembaga-lembaga Pasar Modal
Sejarah Bursa Efek Indonesia
Pasar Primer dan Pasar Sekunder

No comments:

Post a Comment