BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan Islam di Asia Tenggara merupakan salah satu dari tujuh cabang
peradaban Islam. Ketujuh cabang peradaban Islam itu secara lengkap adalah
peradaban Islam Arab, Islam Persi, Islam Turki, Islam Afrika Hitam, Islam Anak
Benua India, Islam Arab Melayu, dan Islam Cina. Kebudayaan yang disebut Arab
Melayu tersebar di wilayah Asia Tenggara memiliki ciri universal menyebabkan
peradaban itu tetap mempertahankan bentuk integralitasnya tetapi pada saat yang
sama tetap mempunyai unsur-unsur yang khas kawasan itu.
Proses Islamisasi di Asia Tenggara tidak dapat dilepaskan dari peranan
kesultanan (kerajaan Islam). Berawal ketika raja setempat memeluk Islam,
selanjutnya diikuti para pembesar istana, kaum bangsawan, dan kemudian
rakyatnya. Dalam perkembangan selanjutnya, kesultanan memainkan peran penting
tidak hanya dalam pemapanan kesultanan sebagai institusi politik muslim,
pembentukan dan pengembangan institusi muslim lainnya, seperti pendidikan dan
hukum (peradilan agama) tetapi juga dalam peningkatan syiar dan dakwah Islam.
Sejak kehadirannya, kesultanan Islam menjadi kekuatan vital dalam
perdagangan bebas internasional dan tidak lepas juga dengan syiar agama yang
dibawa oleh saudagar dan ulama muslim. Dalam hal ini kesultanan mencapai
kemakmuran yang pada gilirannya sangat menentukan bagi perkembangan Islam
secara keseluruhan di Asia Tenggara.
BAB II
PEMBAHASAN
SEJARAH ISLAM PADA MASA KESULTANAN DI
ASIA TENGGARA
Penyebaran Islam di wilayah Asia Tenggara ditandai dengan
berdirinya kesultanan-kesultanan Islam di kawasan tersebut. Sejarah
perkembangan Islam di wilayah Asia Tenggara tidak lepas dari kepentingan
perdagangan dan syiar agama (dakwah), melakukan perkawinan, pengaruh politik
Islam, serta seni budaya.
Masuknya
agama Islam
ke nusantaratelah membawa banyak perubahan dan perkembangan pada masyarakat,budaya
dan pemerintahan. Perubahan dan perkembangan tersebut terlihat jelas dengan berdirinya
kerajaan-kerajaan yang bercorak Islam (kesultanan), antara lain sebagai berikut
:
A. Kesultanan Islam di Sumatera
1. Kesultanan Peureulak (Perlak)
Kesultanan Peureulak adalah kerajaan Islam di Indonesia
yang berkuasa di sekitar wilayah Peureulak, Aceh Timur, Aceh sekarang pada abad
ke-9 M. Disebutkan pada tahun 173 H, sebuah kapal layar berlabuh di bandar
Perlak membawa angkatan dakwah di bawah pimpinan nahkoda khalifah. Kesultanan
perlak didirikan oleh Sayid Abdul Aziz dengan gelar Sultan Alaiddin Sayid
Maulana Abdul Aziz Syah.[1]Perlak
atau Peureulak terkenal sebagai suatu daerah penghasil kayu perlak, jenis kayu
yang sangat bagus untuk
pembuatan kapal, dan karenanya daerah ini dikenal dengan nama Negeri Perlak. Hasil alam dan posisinya yang strategis membuat Perlak berkembang sebagai pelabuhan niaga yang maju pada abad ke-9, disinggahi oleh kapal-kapal yang antara lain berasal dari Arab dan Persia. Hal ini membuat berkembangnya masyarakat Islam di daerah ini, terutama sebagai akibat perkawinan campur antara saudagar muslim dengan perempuan setempat.
pembuatan kapal, dan karenanya daerah ini dikenal dengan nama Negeri Perlak. Hasil alam dan posisinya yang strategis membuat Perlak berkembang sebagai pelabuhan niaga yang maju pada abad ke-9, disinggahi oleh kapal-kapal yang antara lain berasal dari Arab dan Persia. Hal ini membuat berkembangnya masyarakat Islam di daerah ini, terutama sebagai akibat perkawinan campur antara saudagar muslim dengan perempuan setempat.
Adapun raja-raja kesultanan Perlak adalah sebagai berikut
:
1. Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abdul Aziz Syah (
840-864 M )
2. Sultan Alaiddin Maulana Abdur Rahim Syah ( 864-888 M )
3. Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abbas Syah ( 888-913 M )
4. Sultan Alaiddin Sayid Maulana Ali Mughayat Syah (
915-918 M )
5. Sultan Makhdum Alauddin Malik Abdul Kadir Syah Johan
Berdaulat ( 928-932 M )
6. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Syah Johan Berdaulat ( 932-956 M )
7. Sultan Makhdum Abdul Malik Ibrahim Syah Johan Berdaulat ( 956-983 M ).[2]
2. Kesultanan Samudera Pasai
Kesultanan Pasai, juga dikenal dengan Samudera
Darussalam, atau Samudera Pasai, adalah kerajaan Islam yang terletak di pesisir
pantai utara Sumatera, kurang lebih di sekitar Kota Lhokseumawe dan Aceh Utara,
Provinsi Aceh, Indonesia.Belum begitu banyak bukti arkeologis tentang kerajaan
ini untuk dapat digunakan sebagai bahan kajian sejarah.Namun beberapa
sejarahwan memulai menelusuri keberadaan kerajaan ini bersumberkan dari Hikayat
Raja-raja Pasai, dan ini dikaitkan dengan beberapa makam raja serta penemuan
koin berbahan emas dan perak dengan tertera nama rajanya.
Kerajaan ini didirikan oleh Marah Silu, yang bergelar
Sultan Malik as-Saleh, pada abad ke-13 M, sebagai hasil dari proses Islamisasi
daerah-daerah pantai yang pernah disinggahi pedagang-pedagang muslim.
Keberadaan kerajaan ini dibuktikan adanya batu nisan terbuat dari granit asal
Samudera Pasai. Di batu itu tertulis nama raja pertama kesultanan Pasai, Malik
as-Saleh. Keberadaan kerajaan ini juga tercantum dalam kitab Rihlah ilal-Masyriq
(Pengembaraan ke Timur) karya Abu Abdullah ibn Batuthah (1304–1368), musafir
Maroko, Ibnu Batutah yang singgah ke negeri ini pada tahun 1345 M. Ketika
kerajaan Samudera Pasai berdiri, perkembangan Islam makin meluas. Samudera
Pasai sebagai kerajaan Islam pertama yang mempunyai kekuatan politik dan
mempunyai hubungan internasional menjadi pusat kekuatan politik Islam,dakwah Islam
dan ekonomi umat Islam.[3]
Rajanya mengadakan mudzakarah tentang Islam, mengimami sholat Jum’at, dan
menjadikan istananya tempat berkumpul para ulama dari timur tengah, didatangi
oleh penganut ilmu dan mengirimkan mubalig-mubalig ke daerah-daerah lain,
mengawinkan putrinya dengan raja-raja muda kerajaan lain dalam rangka perluasan
Islam.
Kesultanan Islam tertua ini menjadi pusat kegiatan
keagamaan yang utama di kepulauan nusantara kala itu. Di sini pula peradaban
dan kebudayaan Islam tumbuh dan mekar. Sebagai kota dagang yang makmur dan
pusat kegiatan keagamaan yang utama, Pasai bukan saja menjadi tumpuan perhatian
para pedagang Arab dan Parsi, tetapi juga menarik perhatian para ulama dari
negeri Arab untuk datang ke kota ini dengan tujuan untuk menyebarkan agama dan
mengembangkan ilmu pengetahuan.
Pada mata uang dirham dari Samudera Pasai tertulis
nama-nama sultan yang memerintah pada abad ke-14 dan 15 M, menurut H.K.J. Cowan
adalah salah seorang yang melakukan penelitian terhadap mata uang tersebut
dapat diketahui nama-nama raja yang memerintah, sebagai berikut :
1. Sultan Malik al-Saleh, memerintah sampai tahun 1207 M
2. Muhammad Malik al-Zahir ( 1297-1326 M )
3. Mahmud Malik al-Zahir ( 1326-1345 M )
4. Mansur Malik al-Zahir ( 1345-1346 M )
5. Ahmad Malik al-Zahir ( 1346-1383 M )
6. Zainal Abidin Malik al-Zahir ( 1383- 1405 M )
7. Abu Zaid Malik al-Zahir ( 1455 M )
8. Mahmud Malik al-Zahir ( 1455-1477 M )
9. Zain al-Abidin ( 1477-1500 M )
10. Abdul Malik al-Zahir ( 1501-1513 M )
11. Zain al-Abidin ( 1513-1524 M ).[4]
Kesultanan Pasai akhirnya runtuh setelah serangan
Portugal pada tahun 1521. Juga ada yang bilang direbut oleh kerajaan Aceh
Darussalam dibawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah.[5]
3. Kesultanan Aceh Darussalam
Kesultanan
Aceh Darussalam merupakan sebuah kerajaan Islam yang pernah berdiri di provinsi
Aceh, Indonesia. Kesultanan Aceh terletak di utara pulau Sumatera dengan ibu
kota Bandar Aceh Darussalam dengan sultan pertamanya adalah Sultan Ali Mughayat
Syah yang dinobatkan pada Ahad, 1 Jumadil awal 913 H atau pada tanggal 8
September 1507 M.
Aceh mengembangkan pola dan sistem pendidikan militer, berkomitmen dalam
menentang imperialisme bangsa Eropa, memiliki sistem pemerintahan yang teratur
dan sistematik, mewujudkan pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan, dan
menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain.
Dari kesultanan ini, Islam kemudian tersebar ke berbagai
negeri melayu lainnya. Pengaruh dan kekuasaan kesultanan Aceh Darussalam pada
saat itu sangat dirasakan di kepulauan Sumatera terutama ketika kesultanan itu
dibawah pemerintahan Sultan Iskandar Muda ( 1608-1637 M ). Seluruh serangan
diluncurkan Portugis dapat ditangkis Sultan Aceh. Mareka juga menanamkan
pengaruh Islam. Dalam sejarah dan tradisi Aceh pusat kekuasaan didirikan dan
diyakini sebagai diberi dasar oleh Islam. Islam berkembang seiring dengan
berdirinya kesulatanan itu. Berbeda dengan Malaka, Makasar dan kota lainnya,
dimana proses Islamisasi di pusat kerajaan terjadi ketika pedagang Islam
menguasai kehidupan kota berhasil menarik raja yang kafir untuk masuk Islam.
Dilihat dari aspek pengembangan agama Islam, peran Aceh
tak dapat diabaikan. Seiring dengan kemakmurannya dalam bidang ekonomi,
politik, dan budaya, maka perkembangan pemikiran keagamaan semakin meningkat
ditandai dengan munculnya Aceh sebagai kiblat pengajaran Islam. Aceh ketika itu
menjadi pusat ilmu pengetahuan di Asia Tenggara yang melahirkan nama-nama para
intelektual muslim atau ulama terkenal seperti :
1. Hamzah Fansuri ( toko Tasawuf )
2. Syamsuddin al-Sumatrani
3. Nuruddin al-Raniri
4. Abdul Rauf al-Singkili.
Sejauh
menyangkut hukum, bahwa syari’at menjadi sumber hukum kala itu. Para pengunjung
Eropa sering menyebutkan tentang penggunaan hukum Islam seperti hukum potong
tangan bagi yang mencuri sesuai firman Allah dalam surah Al-Ma’idah
وَٱلسَّارِقُ
وَٱلسَّارِقَةُ فَٱقۡطَعُوٓاْ أَيۡدِيَهُمَا جَزَآءَۢ بِمَا كَسَبَا نَكَٰلٗا
مِّنَ ٱللَّهِۗ..... ٣٨
Artinya : “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang
mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka
kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah”.[6]
hukum cambuk bagi orang yang berzina, sesuai firman Allah
dalam surah An-Nur
ٱلزَّانِيَةُ
وَٱلزَّانِي فَٱجۡلِدُواْ كُلَّ وَٰحِدٖ مِّنۡهُمَا مِاْئَةَ جَلۡدَةٖۖ..... ٢
Artinya : “Perempuan yang
berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari
keduanya seratus kali dera”...[7]
pelarangan riba, sesuai firman Allah dalam Al-Qur’an
surah Al-Baqarah
ٱلَّذِينَ
يَأۡكُلُونَ ٱلرِّبَوٰاْ لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ ٱلَّذِي
يَتَخَبَّطُهُ ٱلشَّيۡطَٰنُ مِنَ ٱلۡمَسِّۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمۡ قَالُوٓاْ
إِنَّمَا ٱلۡبَيۡعُ مِثۡلُ ٱلرِّبَوٰاْۗ وَأَحَلَّ ٱللَّهُٱلۡبَيۡعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰاْۚ... ٢٧٥
Artinya : “Orang-orang
yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka
yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya
jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba” .....[8]
dan penghapusan siksaan kuno seperti pencelupan kedalam
minyak panas dan menjilat besi yang panas memerah bagi pelanggaran hukum.
Kesultana
Aceh mengalami kemunduran setelah Sultan Iskandar Tsani meninggal. Beberapa
wilayah taklukan lepas dan kesultanan terpecah belah. Meski upaya pemulihan
dilakukan, namun tidak banyak membawa kemajuan. Kemunduran kesultana Aceh
selain disebabkan oleh faktor internal juga sangat dipengaruhi faktor
eksternal. Sejak awal abad ke-16, kesultanan Aceh terlibat perebutan kekuasaan yang
berkepanjangan, pertama dengan Portugis, lalu abad ke-18 dengan Inggris dan
Belanda.[9]
4. Kesultanan Siak
Kata Siak Sri Inderapura, secara harfiah dapat
bermakna pusat kota raja yg taat beragama, dalam bahasa Sanskerta, sri berarti
“bercahaya” & indera atau indra dapat bermakna raja. Sedangkan pura
dapat bermaksud dengan “kota” atau “kerajaan”. Siak dalam anggapan masyarakat Melayu sangat bertali erat dengan agama Islam. Kerajaan ini didirikan di Buantan
oleh Raja Kecil dari Pagaruyung bergelar Sultan Abdul Jalil pada tahun 1723,
sesudah sebelumnya terlibat dalam perebutan tahta Johor. Dalam
perkembangannya, Kesultanan Siak muncul sebagai sebuah kerajaan bahari yang kuat & menjadi kekuatan yg
diperhitungkan di pesisir timur Sumatera & Semenanjung Malaya di tengah
tekanan imperialisme Eropa. Jangkauan terjauh pengaruh kerajaan ini sampai ke
Sambas di Kalimantan Barat, sekaligus mengendalikan jalur pelayaran antara
Sumatera & Kalimantan. Pasang surut kerajaan ini tak lepas dari persaingan
dlm memperebutkan penguasaan jalur perdagangan di Selat Malaka.
Munculnya VOC
sebagai penguasa di Malaka, Siak diklaim oleh Johor sebagai bagian wilayah
kedaulatannya sampai munculnya Raja Kecil. Dalam Syair Perang Siak, Raja Kecil
putra Pagaruyung, didaulat menjadi penguasa Siak atas mufakat masyarakat di
Bengkalis, sekaligus melepaskan Siak dari pengaruh Johor. Sementara Raja Kecil
dlm Hikayat Siak disebut juga dengan sang pengelana pewaris Sultan Johor yg
kalah dlm perebutan kekuasaan. Berdasarkan korespodensi Sultan Indermasyah Yang
Dipertuan Pagaruyung dengan Gubernur Jenderal Belanda di Melaka waktu itu,
menyebutkan bahwa Sultan Abdul Jalil merupaken saudaranya yg diutus untuk
urusan dagang dengan pihak VOC.
Kemajuan Perdagangan Kesultanan
Siak
Kesultanan Siak
Sri Inderapura mengambil keuntungan atas pengawasan perdagangan melalui Selat
Melaka serta kemampuan mengendalikan para perompak di kawasan tersebut.
Kemajuan perekonomian Siak terlihat dari catatan Belanda yg menyebutkan pada
tahun 1783, ada sekitar 171 kapal dagang dari Siak menuju Malaka. Siak menjadi
kawasan segitiga perdagangan antara Belanda di Malaka & Inggris di Pulau
Pinang. Namun disisi lain kejayaan Siak ini memberi kecemburuan pada keturunan
Yang Dipertuan Muda terutama sesudah hilangnya kekuasaan mereka pada kawasan
Kepulauan Riau. Sikap ketidaksukaan & permusuhan terhadap Sultan Siak,
terlihat dlm Tuhfat al-Nafis, di mana dlm deskripsi ceritanya mereka
mengambarkan Sultan Siak sebagai orang yg rakus akan kekayaan dunia. Peranan
Sungai Siak sebagai bagian kawasan inti dari kerajaan ini berpengaruh besar
terhadap kemajuan perekonomian Siak Sri Inderapura.
Masa Kejayaan Sultan Siak
Dengan klaim
sebagai pewaris Malaka, pada tahun 1724-1726 Sultan Abdul Jalil melakukan
perluasan wilayah, dimulai dengan memasukan Rokan ke dlm wilayah Kesultanan
Siak, membangun pertahanan armada laut di Bintan. Namun tahun 1728 atas
perintah Raja Sulaiman, Yang Dipertuan Muda bersama pasukan Bugisnya, berhasil
menekan Raja Kecil keluar dari kawasan kepulauan. Raja Sulaiman kemudian
menjadikan Bintan sebagai pusat pemerintahannya & atas keberhasilan itu
Yang Dipertuan Muda diberi kedudukan di Pulau Penyengat. Sementara Raja Kecil
terpaksa melepas hegemoninya pada kawasan kepulauan & mulai membangun
kekuatan baru pada kawasan sepanjang pesisir timur Sumatera. Antara tahun
1740-1745, Raja Kecil kembali bangkit & menaklukan beberapa kawasan di
Semenanjung Malaya.
Pengaruh Raja
Ismail di kawasan Melayu sangat signifikan mulai dari Terengganu, Jambi &
Palembang. Laporan Belanda menyebutkan Palembang telah membayar 3000 ringgit
kepada Raja Ismail agar jalur pelayarannya aman dari gangguan, sementara
Hikayat Siak menceritakan tentang kemeriahan sambutan yg diterima oleh Raja
Ismail sewaktu kedatangannya ke Palembang. Pada abad ke-18 Kesultanan Siak
telah menjadi kekuatan yg dominan di pesisir timur Sumatera. Tahun 1780
Kesultanan Siak menaklukkan daerah Langkat, & menjadikan wilayah tersebut
dlm pengawasannya, termasuk wilayah Deli & Serdang. Di bawah ikatan
perjanjian kerjasama dengan VOC, pada tahun 1784 Kesultanan Siak membantu VOC
menyerang & menundukkan Selangor, sebelumnya mereka telah bekerjasama
memadamkan pemberontakan Raja Haji Fisabilillah di Pulau Penyengat.
Diantara Sultan Siak Sri Inderapura
1889-1908 M Yang Dipertuan Besar Syarif
Hasyim Abdul Jalil Saifuddin
Sultan Syarif Hasyim Meresmikan Istana Siak Sri Inderapura
Sultan Syarif Hasyim Meresmikan Istana Siak Sri Inderapura
1915-1945 M Yang Dipertuan Besar Syarif
Kasyim Abdul Jalil Saifuddin
Sultan Syarif Kasim II Menyerahkan kerajaannya pada pemerintah Republik Indonesia
Sultan Syarif Kasim II Menyerahkan kerajaannya pada pemerintah Republik Indonesia
Struktur Pemerintahan
Pengaruh
Kerajaan Pagaruyung, juga mewarnai sistem pemerintahan pada Kesultanan Siak,
sesudah Sultan Siak, terdapat Dewan Menteri yg mirip dengan kedudukan Basa
Ampek Balai di Minangkabau. Dewan Menteri ini memiliki kekuasaan untuk memilih
& mengangkat Sultan Siak, sama dengan Undang Yang Ampat di Negeri Sembilan.
Dewan Menteri bersama dengan Sultan menetapkan undang-undang serta peraturan
bagi masyarakatnya.
Dewan menteri ini terdiri dari:
1. Datuk Tanah Datar
2. Datuk Limapuluh
3. Datuk Pesisir
4. Datuk Kampar
Naskah ini
terdiri dari 33 halaman yg panjang serta ditulis dengan Abjad Jawi. Ingat
Jabatan merupaken dokumen resmi Siak Sri Inderapura yg dicetak di Singapura,
berisi rincian tanggung jawab dari berbagai posisi atau jabatan di pemerintahan
mulai dari pejabat istana, wakil kerajaan di daerah jajahan, pengadilan maupun
polisi. Pada bagian akhir dari setiap uraian tugas para birokrat tersebut
ditutup dengan peringatan serta perintah untuk tak khianat kepada sultan &
nagari. Perkembangan selanjutnya, Siak Sri Inderapura juga menerbitkan salah
satu kitab hukum atau undang-undang, dikenal dengan nama Bab al-Qawa’id. Kitab
ini dicetak di Siak tahun 1901, menguraikan hukum yg dikenakan kepada
masyarakat Melayu & masyarakat lain yg terlibat perkara dengan masyarakat
Melayu.
Namun tak
mengikat orang Melayu yang
bekerja dengan pihak pemerintah Hindia-Belanda, di mana jika terjadi
permasalahan akan diselesaikan secara bilateral antara Sultan Siak dengan
pemerintah Hindia-Belanda. Dalam pelaksanaan masalah pengadilan umum di
Kesultanan Siak diselesaikan melalui Balai Kerapatan Tinggi yg dipimpin oleh
Sultan Siak, Dewan Menteri & dibantu oleh Kadi Siak serta Controleur Siak
sebagai anggota.
Pengaruh Islam
& keturunan Arab mewarnai Kesultanan Siak, salah satunya keturunan Al-Jufri
yg bergelar Bendahara Patapahan. Pada kawasan tertentu di Siak Sri Inderapura,
ditunjuk Kepala Suku yg bergelar Penghulu, dibantu oleh Sangko Penghulu, Malim
Penghulu serta Lelo Penghulu. Sementara terdapat juga istilah Batin, dengan
kedudukan yg sama dengan Penghulu, namun memiliki kelebihan hak atas hasil
hutan yg tak dimiliki oleh Penghulu. Batin ini juga dibantu oleh Tongkat, Monti
& Antan-antan.
Siak Sri
Inderapura sampai sekarang tetap diabadikan sebagai nama ibu kota dari
Kabupaten Siak, & Balai Kerapatan Tinggi yg dibangun tahun 1886 serta
Istana Siak Sri Inderapura yg dibangun pada tahun 1889, masih tegak berdiri
sebagai simbol kejayaan masa silam, termasuk Tari Zapin & Tari Olang-olang
yg pernah mendapat kehormatan menjadi pertunjukan utama untuk ditampilkan pada
setiap perayaan di Kesultanan Siak Sri Inderapura. Begitu juga nama Siak masih
melekat merujuk kepada nama sebuah sungai di Provinsi Riau sekarang, yaitu
Sungai Siak yg bermuara pada kawasan timur pulau Sumatera.
B. Kesultanan Islam di Jawa
1. Kesultanan Demak
Kesultanan
Demak adalah kerajaan Islam pertama di Jawa pada abad ke-15.
Menurut tradisi Jawa, Demak sebelumnya merupakan kadipaten dari kerajaan
Majapahit, kemudian muncul sebagai kekuatan baru mewarisi legitimasi dari
kebesaran Majapahit.Kerajaan ini tercatat menjadi pelopor penyebaran agama
Islam di pulau Jawa dan Indonesia pada umumnya.
Raden Patah adalah raja pertama kesultanan Demak.
Kesultanan Demak lambat laun menjadi pusat perkembangan agama Islam yang
diramaikan oleh para wali songo. Di era wali songolah berakhirnya dominasi
Hindu-Budha dalam budaya nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam.
Para ulama yang membantu raja dalam melaksanakan roda pemerintahan, terutama
terkait persoalan-persoalan agama. Ketika kesultanan Demak hendak didirikan,
Sunan Ampel ( Raden Rahmat ) turut membantu berdirinya kerajaan Islam pertama
di Jawa itu. Dia juga mendirikan pesantren yang diantara santrinya Sunan Giri
dan Raden Patah. Sunan Ampel memberikan pengajaran sederhana yang menekankan
pada penanaman akidah dan ibadah. Dia-lah yang mengenalkan istilah “ Moh Limo “
( moh main, moh ngombe, moh maling, moh madat, moh madon ). Yakni seruan
untuk tidak berjudi, tidak meminum minuman keras, tidak mencuri, tidak
menggunakan narkotika, dan tidak berzina.
Raden Patah digantikan oleh anaknya Pati Unus sekitar
tahun 1507. Visi besarnya menjadikan Demak sebagai kesultanan maritim yang
besar. Pada masa kepemimpinannya, Demak merasa terancam dengan pendudukan
Portugis di Malaka.
Walau
tidak berumur panjang dan segera mengalami kemunduran karena terjadi perebutan
kekuasaan di antara kerabat kerajaan. Pada tahun 1568, kekuasaan Demak beralih
ke Kerajaan Pajang yang didirikan oleh Jaka Tingkir. Salah satu peninggalan
bersejarah Kerajaan Demak ialah Mesjid Agung Demak, yang menurut tradisi
didirikan oleh Walisongo.
2. Kesultanan Pajang
Kerajaan Pajang adalah satu kerajaan yang berpusat di
Jawa Tengah sebagai kelanjutan Kerajaan Demak, yang didirikan oleh Jaka Tingkir
yang bergelar Sultan Adiwijaya pada tahun 1549 M. Kompleks keratonnya pada
zaman ini tinggal tersisa berupa batas-batas fondasinya saja yang berada di
perbatasan Kelurahan Pajang - Kota Surakarta dan Desa Makamhaji, Kartasura,
Sukoharjo. Kekuasaan kesutanan ini berahasil meluas ke berbagai daerah
pedalaman sampai ke Madiun, Blora dan Kediri. Pada tahun 1581 ia mendapat
pengakuan dari para raja di Jawa sebagai raja Islam.
Sepeninggal Sultan Adiwijaya, terjadi persaingan antara
putra dan menantunya, yaitu pangeran Benawa dan Arya Pangiri sebagai raja
selanjutnya. Kehidupan rakyat Pajang terabaikan. Pada saat itu Arya Pangiri
kalah dan dikembalikan ke Demak, sementara pangeran Benawa menjadi raja.
Pemerintahannya berakhir pada tahun 1587, tidak ada putra mahkota yang
menggantikan sehingga Pajang berada dibawah perlindungan Mataram.
3. Kesultanan Mataram
Kesultanan
Mataram adalah kerajaan Islam di Pulau Jawa yang pernah berdiri pada abad ke-16. Kerajaan
ini dipimpin suatu dinasti keturunan Ki Ageng Sela dan Ki Ageng Pemanahan, yang
mengklaim sebagai suatu cabang ningrat keturunan penguasa Majapahit.
Asal-usulnya adalah suatu Kadipaten di bawah Kesultanan Pajang, berpusat di
"Bumi Mentaok" yang diberikan kepada Ki Ageng Pemanahan sebagai
hadiah atas jasanya. Raja berdaulat pertama adalah Sutawijaya (Panembahan Senopati),
putra dari Ki Ageng Pemanahan. Panembahan Senopati ini menandai jejak terislamkannya
tanah yang sejak ratusan tahun lalu beranama Mataram yang kental dengan warna
Hindu-Budhanya.
Semula wilayah kekuasaan Mataram terbatas pada wilayah
Jawa Tengah sekarang, mewarisi bekas wilayah kekuasaan Pajang. Tahun 1619
ketika Mataram dibawah pemerintahan Sultan Agung, praktis seluruh tanah Jawa
berada dibawah kesultanan ini termasuk Madura. Pada masa itu pula di kesultanan
Mataram dilakukan perubahan tata hukum dibawah pengaruh hukum Islam. Peradilan
perdata Hindu dirubah menjadi peradilan surambi bertempat di surambi masjid
Agung. Perkara kejahatan yang menjadi urusan peradilan ini ditetapkan menurut
kitab Kisas yaitu kitab undang-undang hukum Islam pada masa Sultan Agung.
Kerajaan
Mataram pada masa keemasannya pernah menyatukan tanah Jawa dan sekitarnya,
termasuk Madura. Negeri ini pernah memerangi VOC di Batavia untuk mencegah
semakin berkuasanya firma dagang itu, namun ironisnya malah harus menerima
bantuan VOC pada masa-masa akhir menjelang keruntuhannya.
Mataram
merupakan kerajaan berbasis agraris/pertanian dan relatif lemah secara maritim.
Ia meninggalkan beberapa jejak sejarah yang dapat dilihat hingga kini, seperti
kampung Matraman di Batavia/Jakarta, sistem persawahan di Pantura Jawa Barat,
penggunaan hanacaraka dalam literatur bahasa Sunda, politik feodal di Pasundan,
serta beberapa batas administrasi wilayah yang masih berlaku hingga sekarang.
Pada tahun 1677 dan 1678 M pemberontakan para ulama
dengan penguasa ini menyebabkan melemahnya kekuasaan Mataram disamping konflik
yang terjadi diantara bangsawan keraton, dimana VOC selalu siap mencari
keuntungan.
4. Kesultanan Cirebon
Kesultanan Cirebon adalah sebuah kesultanan Islam ternama di Jawa Barat pada
abad ke-15 dan 16 Masehi, dan merupakan pangkalan penting dalam jalur
perdagangan dan pelayaran antar pulau. Lokasinya di pantai utara pulau Jawa
yang merupakan perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Barat, membuatnya menjadi
pelabuhan dan "jembatan" antara kebudayaan Jawa dan Sunda sehingga
tercipta suatu kebudayaan yang khas, yaitu kebudayaan Cirebon yang tidak
didominasi kebudayaan Jawa maupun kebudayaan Sunda.
Kesultanan Cirebon didirikan oleh Sunan Gunung Jati atau
dikenal dengan Syarif Hidayatullah. Ia memperlihatkan peran ganda yakni sebagai
penguasa sekaligus ulama. Dia mengatur roda pemerintahan dan memiliki orientasi
politik terhadap Cirebon. Sebagai daerah pesisir, Cirebon sejak sebelum dan
sesudah masuknya Islam merupakan pelabuhan yang penting di pesisir utara Jawa.
Di awal abad ke-16 Cirebon masih daerah kecil dibawah kekuasaa Pajajaran. Setelah Cirebon resmi berdiri
sebagai kerajaan Islam yang bebas dari kekuasaan Pajajaran, Sunan Gunung Jati
berusaha meruntuhkan kerajaan Pajajaran yang masih belum menganut Islam. Ia
mengembangkan Islam sampai ke Kawali, Majalengka, Kuningan, Sunda Kelapa,
Banten. Sunan Gunung Jati meletakkan dasar bagi pengembangan Islam dan
perdagangan kaum muslim di Banten. Banten diserahkan kepada anaknya Sultan
Hasanuddin.
5. Kesultanan Banten
Kesultanan
Banten adalah sebuah kerajaan Islam yang pernah berdiri di Tatar Pasundan,
Provinsi Banten, Indonesia. Berawal sekitar tahun 1526, ketika Kerajaan Demak
memperluas pengaruhnya ke kawasan pesisir barat Pulau Jawa, dengan menaklukan
beberapa kawasan pelabuhan kemudian menjadikannya sebagai pangkalan militer
serta kawasan perdagangan.
Maulana
Hasanuddin, putera Sunan Gunung Jati berperan dalam penaklukan tersebut.
Setelah penaklukan tersebut, Maulana Hasanuddin mendirikan benteng pertahanan
yang dinamakan Surosowan, yang kemudian hari menjadi pusat pemerintahan setelah
Banten menjadi kesultanan yang berdiri sendiri.
Selama
hampir 3 abad Kesultanan Banten mampu bertahan bahkan mencapai kejayaan yang
luar biasa, yang diwaktu bersamaan penjajah dari Eropa telah berdatangan dan
menanamkan pengaruhnya. Perang saudara, dan persaingan dengan kekuatan global
memperebutkan sumber daya maupun perdagangan, serta ketergantungan akan
persenjataan telah melemahkan hegemoni Kesultanan Banten atas wilayahnya.
A.C Milner mengatakan pada abad 17 M, Banten dan Aceh
adalah kerajaan Islam di nusantara yang paling ketat melaksanakan hukum Islam
sebagai hukum negara. Di Banten hukuman terhadap pencuri dengan memotong tangan
kanan, kaki kiri, tangan kiri dan seterusnya berturut-turut bagi pencurian
senilai 1 gram emas, dibawah kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa.
Kekuatan politik Kesultanan Banten akhir runtuh pada
tahun 1813 setelah sebelumnya Istana Surosowan sebagai simbol kekuasaan di Kota
Intan dihancurkan, dan pada masa-masa akhir pemerintanannya, para Sultan Banten
tidak lebih dari raja bawahan dari pemerintahan kolonial di Hindia Belanda.[10]
C. Kesultanan Islam di Maluku
1. Kesultanan Ternate
Kesultanan Ternate atau juga dikenal dengan Kerajaan Gapi
Buguna adalah salah satu dari kerajaan Islam di Kepulauan Maluku. Pada masa
Ternate dibawah pemerintahan Sultan Khairun, tahun 1564 diadakan perjanjian
dengan Portugis bahwa Ternate dibawah perlindungan kerajaan Portugis. Pada
tahun 1565, Sultan Khairun memaklumkan perang Sabil melawan kesewenangan de
Mesquita seorang gubernur Portugis di Ternate. Karena terdesak, Portugis
mengadakan perjanjian tetapi ketika penandatanganan perjanjian tersebut Sultan
Khairun dibunuh.
Pengganti Sultan Khairun adalah Sultan Babullah. Ia
memaklumkan perang secara total terhadap Portugis. Perang tersebut dimenangkan
oleh Ternate pada tahun 1575 M.Kesultanan Ternate memiliki peran penting di kawasan timur
Nusantara antara abad ke-13 hingga abad ke-17. Kesultanan Ternate menikmati
kegemilangan di paruh abad ke-16 berkat perdagangan rempah-rempah dan kekuatan
militernya. Di masa jaya kekuasaannya membentang mencakup wilayah Maluku,
Sulawesi bagian utara, timur dan tengah, bagian selatan kepulauan Filipina
hingga sejauh Kepulauan Marshall di Pasifik.
2. Kesultanan Tidore
Kesultanan
Tidore adalah kerajaan Islam yang berpusat di wilayah Kota Tidore, Maluku
Utara, Indonesia sekarang. Raja Tidore yang pertama kali masuk
Islam adalah Cirali Lijtu, yang kemudian berganti nama menjadi Sultan
Jamaludin. Pada
masa kejayaannya (sekitar abad ke-16 sampai abad ke-18), kerajaan ini menguasai
sebagian besar Pulau Halmahera selatan, Pulau Buru, Pulau Seram, dan banyak pulau-pulau
di pesisir Papua barat.
Pada
tahun 1521, putra dari Sultan Jamaluddin, Sultan Mansur dari Tidore
menerima Spanyol sebagai sekutu untuk mengimbangi kekuatan Kesultanan Ternate
saingannya yang bersekutu dengan Portugal. Setelah mundurnya Spanyol dari
wilayah tersebut pada tahun 1663 karena protes dari pihak Portugal sebagai
pelanggaran terhadap Perjanjian Tordesillas 1494, Tidore menjadi salah kerajaan
paling merdeka di wilayah Maluku. Terutama di bawah kepemimpinan Sultan
Saifuddin (memerintah 1657-1689), Tidore berhasil menolak pengusaan VOC
terhadap wilayahnya dan tetap menjadi daerah merdeka hingga akhir abad ke-18.
3. Kesultanan Bacan
Kesultanan
Bacan adalah suatu kerajaan yang berpusat di Pulau Bacan, Kepulauan Maluku pada tahun 1521.
Raja Bacan pertama yang memeluk Islam adalah Raja Zainul Abidin yang bersyahadat pada
tahun 1521. Meski berada di Maluku, wilayahnya cukup luas hingga ke wilayah
Papua Barat. Banyak kepala suku di wilayah Waigeo, Misool yang terletak di Raja
Ampat dan beberapa daerah lain yang berada di bawah administrasi pemerintahan
kerajaan Bacan. Ketika Portugis menguasai Maluku, sultan-sultan Bacan
dipaksa untuk masuk agama Kristen.
D. Kesultanan Islam di
Kalimantan
1. Kesultanan Banjar
Kesultanan
Banjar atau Kesultanan Banjarmasin (berdiri pada tahun
1595) dengan penguasa pertama Sultan Suriansyah. Rakyat Banjar tetap mengakui
ada pemerintahan darurat/pelarian yang baru berakhir pada 24 Januari 1905.
Namun sejak 24 Juli 2010, Kesultanan Banjar hidup kembali dengan dilantiknya
Sultan Khairul Saleh.
Kerajaan
Banjar adalah sebuah kesultanan wilayahnya saat ini termasuk ke dalam provinsi
Kalimantan Selatan, Indonesia. Kesultanan ini semula beribukota di Banjarmasin
kemudian dipindahkan ke beberapa tempat dan terkahir diMartapura. Ketika
beribukota di Martapura disebut juga Kerajaan Kayu Tangi.Ketika ibukotanya
masih di Banjarmasin, maka kesultanan ini disebut Kesultanan Banjarmasin.
Kesultanan Banjar merupakan penerus dari Kerajaan Negara Daha yaitu kerajaan
Hindu yang beribukota di kota Negara, sekarang merupakan ibukota kecamatan Daha
Selatan, Hulu Sungai Selatan.Penyebaran Islam secara luas dilakukan
oleh Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari, seorang ulama yang menjadi mufti besar
Kalimantan.
3. Kesultanan Kutai
Kesultanan
Kutai atau lebih lengkap disebut Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura
(Martapura) yang terletak di sekitar sungai Mahakam bagian timur.
Awalnya Kutai merupakan kerajaan yang dipengaruhi ajaran Hindu dan Budha. Islam
berkembang pada masa kepemimpinan Aji Raja Mahkota ( 1525-1600 M ).
Tuan di Bandang yang dikenal dengan Dato’ Ri Bandang dari
Makassar dan Tuan Tunggang Parangan adalah merupakan penyebar agama Islam di
Kutai. Melalui dua orang tersebut Raja Mahkota tunduk kepada keimanan Islam.
Setelah itu dibangun sebuah masjid dan pengajaran agama. Yang pertama kali
mendapat pengajaran itu adalah Raja Mahkota sendiri, kemudian pangeran, para
menteri, panglima dan hulubalang, dan rakyat.
Kesultanan ini mencapai puncak kejayaan pada masa
kesultanan Aji Sultan Muhammad Salehuddin ( 1780-1850 M ). Kesultanan ini
mengalami kemunduran setelah Aji Sultan Muhammad Salehuddin meninggal dunia.
Peninggalan sejarah Kutai berupa makam para sultan di Kutai lama. Dihidupkannya
kembali Kesultanan Kutai ditandai dengan dinobatkannya sang pewaris tahta yakni
putera mahkota Aji Pangeran Prabu Anum Surya Adiningrat menjadi Sultan Kutai
Kartanegara ing Martadipura dengan gelar Sultan Aji Muhammad Salehuddin II pada
tanggal 22 September 2001.
E. Kesultanan Islam di Sulawesi
1. Kesultanan Gowa
Kesultanan
Gowa atau kadang ditulis Goa, adalah salah satu kerajaan besar dan paling
sukses yang terdapat di daerah Makassar, Sulawesi Selatan. Raja Goa yang mula masuk Islam adalah Kareang Tonigallo, yang bergelar
Sultan Alauddin Awwalun Islam. Rakyat dari kerajaan ini berasal dari Suku Makassar yang
berdiam di ujung selatan dan pesisir barat Sulawesi bagian selatan. Wilayah
kerajaan ini sekarang berada di bawah Kabupaten Gowa dan beberapa bagian daerah
sekitarnya.
Kerajaan
ini memiliki raja yang paling terkenal bergelar Sultan Hasanuddin, yang saat
itu melakukan peperangan yang dikenal dengan Perang Makassar (1666-1669)
terhadap VOC yang dibantu oleh Kesultanan Bone yang dikuasai oleh satu wangsa
(dinasti) Suku Bugis dengan rajanya, Arung Palakka. Perang Makassar bukanlah
perang antarsuku karena pihak Gowa memiliki sekutu dari kalangan Bugis, demikian
pula pihak Belanda-Bone memiliki sekutu orang Makassar. Perang Makassar adalah
perang terbesar VOC yang pernah dilakukannya pada abad ke-17.
2. Kesultanan Buton
Kesultanan
Buton terletak di Kepulauan Buton (Kepulauan Sulawesi Tenggara) Provinsi
Sulawesi tenggara, di bagian tenggara Pulau Sulawesi pada
abad ke-16. Pada
zaman dahulu memiliki kerajaan sendiri yang bernama kerajaan Buton dan berubah
menjadi bentuk kesultanan yang dikenal dengan nama Kesultanan Buton. Nama Pulau
Buton dikenal sejak zaman pemerintahan Majapahit, Patih Gajah Mada dalam Sumpah
Palapa, menyebut nama Pulau Buton.
Penyebaran Islam secara luas dilakukan oleh Syaikh Abdul
Wahid bin Syarif Sulaiman Al-Pathani, seorang ulama dari kesultanan Johor.
Peninggalan sejarah kesultanan Buton berupa Benteng Kraton dan Batu poaro yaitu
batu tempat berkhalwat (mengasingkan diri).
F. Kesultanan Islam di Luar Indonesia
1. Kesultanan Malaka
Menurut HAMKA, raja Malaka yang pertama adalah seorang raja Hindu
Permaisura ( Parameswara ), ia dikenal sebagai raja yang pernah bertahta di
kerajaan Singapura. Ketika Sayid Abdul Aziz seorang ulama dari Jeddah mengajak
masuk Islam, diterimanyalah ajakan tersebut. Setelah masuk Islam Parameswara
bergelar Megat Iskandar Syah.
Kesultanan
Malaka menjadi maju dalam perdagangan karena Malaka sebagai kota pelabuhan yang
dikunjungi banyak pedagang dan sebagai pusat transit perdagangan di wilayah
Asia Tenggara. Sebagai kota dagang yang ramai dikunjungi, pelabuhan Malaka
memberi kesempatan kepada para pedagang asing untuk membuka perwakilan dagang
di kota Malaka. Di samping menjalankan dagang untuk memperoleh keuntungan,
mareka juga dapat mengenal dari dekat cara hidup orang-orang muslim di Malaka
bagi yang berminat mendapat kesempatan untuk belajar agama dan memeluk Islam.
Kesultanan Malaka ketika itu juga sebagai salah satu pusat penyebaran agama
Islam ke berbagai wilayah lain di Asia Tenggara.
Dalam
budaya melayu, unsur-unsur Islam juga menjadi demikian dominan apakah itu
dibidang seni, bahasa, sastra, musik, pakaian, dan kebiasaan. Dari beberapa
peninggalan sejarah dapat dicermati bahwa produk budaya yang dibawa oleh Islam
seperti tulisan Arab memberi sumbangan yang besar bagi perkembangan budaya
melayu. Informasi tentang melayu, masyarakatnya, kehidupan sosial, ekonomi,
budaya, politik, dan keagamaannya sampai pada masyarakat masa kini adalah
melaui tulisan Arab. Selain itu, perbendaharaan sastra dan tradisi lisan melayu
juga memunyai andil dalam perkembangan Islam seperti karya Sejarah Melayu,
Hikayat raja-raja Pasai, Hikayat Iskantar Zulkarnain, dan lain-lain.
Dalam
mayarakat Hindu pra Islam, terdapat suatu keyakinan yang mengagungkan penguasa.
Penguasa dipandang sebagai keturunan dewa atau bayangan tuhan. Penyebaran mitos
misalnya mitos bahwa “raja” adalah “titisan dewa” atau membrontak penguasa
dianggap sebagai suatu tindakan penghianatan dan merupakan dosa yang tak
terampuni. Pada masa kesultanan ini budaya politik melayu secara
berangsur-angsur mulai dipengaruhi dan diwarnai oleh pandangan dan ajaran agama
Islam.
Dalam kitab undang-undang Malaka menyebutkan penguasa
sebagi “Khalifat al-mu’minin, zill Allah fi al-alam” yang artinya khalifah kaum
muslimin, bayang-bayang Allah di muka bumi. Ini mengandung makna bahwa sultan
bertanggungjawab langsung kepada tuhan untuk memelihara dan mengembangkan agama
Islam. Dalam slogan melayu yang sudah terkenal luas sehingga menjadi pepatah : “raja
adil raja disembah, raja zalim raja disanggah”. Ini berarti kekuasaan
sultan melayu bukan tanpa batas. Dalam Islam batas kepatuhan terhadap penguasa
telah didefinisikan secara jelas dalam ayat al-qur’an yang membawa pesan “
tidak ada ketundukan kepada makhluk jika hal itu menyebabkan keingkaran kepada
khalik”.
Undang-undang
Malaka yang disebut Hukum Kanun Malaka, disusun pada masa pemerintahan Sultan
Muzaffar Shah, yang berisi hukum Islam, baik yang terkait dengan perdata maupun
pidana.
Pemetaan 4 unsur/komponen
Undang-undang Malaka
Dari bagan
tersebut dapat dilihat bahwa
Undan-undang Malaka terdiri dari 4 unsur (komponen) yaitu :
1. Hukum
Adat yang meliputi kebiasaan, moral, etika, peraturan-peraturan resmi (tidak tertulis)
2. Naskah
dan dokumentasi Undang-undang tertulis
3. Undang-undang
Islam
4. Titah
Raja, patik, murka, karunia dan nugraha.
Acuan pada syari’at Islam terlihat dengan jelas terutama dalam bidang jinayah (pembunuhan,
pencurian, fitnah, zina, murtad, minuman keras), kekeluargaan, undang-undang
keterangan dan acara dan syarat-syarat kelayakan raja.
Untuk menyebutkan beberapa contoh, diantara
pasal-pasalnya berbunyi :
Pasal ke 5 : orang yang membunuh dengan tiada setahu raja atau orang
besar-besar, jikalau dibunuhnya dengan tiada dosanya sekalipun dibunuh pula ia
pada hukum Allah, maka adil namanya.
Pasal ke 7 : adapun pada hukum Allah
orang yang mencuri itu tiada harus dibunuh melainkan dipotong tangan.
Pasal ke 12 : adapun hukum orang yang menuduh orang berzina itu pada hukum
Allah didera 80 kali deranya. Jikalau pada hukum kanun didenda 10 tahil.
Pasal ke 37 : hukum saksi yang harusnya di atas 4 martabat. Pertama tahu ia
akan halal dan haram, kedua tahu ia akan sunah dan fardhu, ketiga tahu ia akan
salah dan benar, keempat tahu ia akan baik dan jahat. Itu lah harus diperbuat
saksi.
Adapun
sultan-sultan yang pernah memerintah pada kesultanan Malaka adalah sebagai
berikut:
1. Parameswara ( Megat Iskandar Syah ) ( 1402-1424 )
2. Sultan Muhammad Syah ( 1424- 1444 )
3. Sri Parameswara Dewa Syah ( 1444-1446 )
4. Sultan Muzaffar Syah ( 1446-1459 )
5. Sultan Mansyur Syah ( 1459-1477 )
6. Sultan Alauddin Riayat Syah ( 1477-1488 )
7. Sultan Mahmud Syah ( 1488- 1528 ).
2. Kesultanana Johor
Kesultanan Johor berdiri setelah Kesultanan Malaka dikalahkan oleh Portugis
tahun 1511 M. Sultan Alaudin Riayat Syah membangun kesultanan Johor sekitar
tahun 1530-1536. Masa kejayaan kesultanan ini terjadi pada masa pemerintahan
Sultan Abdul Jalil Riayat Syah II. Kesultanan Johor memperkuat didrinya dengan
mengadakan aliansi bersama kesultanan Riau sehingga disebut kesultanan
Johor-Riau. Kesultanan Johor-Riau berakhir setelah Raja Haji wafat dan
wilayahnya dikuasai oleh Belanda.
Kesultanan
Johor merupakan kerajaan yang gigih mengadakan perlawanan terhadap penjajahan
Portugis. Pada pemerintahan Sultan Abdul Jalil Riayat Syah I, kerajaan ini
sangat disegani penjajah. Demikian pula pada masa pemerintahan Sultan Abdul
Jalil Riayat Syah II, kesultanan Johor mengalami puncak kemegahannya.
3. Kesultanan Brunei Darussalam
Raja
Brunei pertama adalah Awang Betatar yang tertarik menerima Islam dan mengganti
namanya menjadi Sultan Muhammad Syah, lalu seluruh keluarga istana masuk Islam.
Kesultanan Brunei menjadi pusat penyebaran Islam dan perdagangan di Kepulauan
Melayu. Di zaman pemerintahan Sultan Bolkiah ( 1473-1521 M ) sultan Brunei
ke-5, Brunei berkembang menjadi suatu kerajaan yang kuat dan maju.
Sultan
Bolkiah gemar mengadakan ekspedisi pelayaran hingga diberi gelar Nahkoda Ragam.
Pada tahun 1564 Gubernur Spanyol Francesco de sande memperingatkan pemerintah
Brunei agar tidak melakukan aktivitas dakwah Isla ke dalam daerah kekuasaannya
di kepulauan Sulu-Mindanao dan Filipina yang berada di bawah kekuasaannya.
Brunei
merdeka sebagai negara Islam di bawah pimpinan Sultan Hasanal Bolkiah Muizaddin
Waddaulah. Panggilan resmi kenegaraan Sultan adalah Kebawah Duli Yang Maha
Mulia Paduka Seri Baginda Sultan dan Yang Dipertuan Negara. Gelar Muizaddin
Waddaulah ( penata agama dan negara ) merupakan ciri sebutan yang selalu
melekat pada setiap raja yang memerintah di Brunei.
4. Kesultanan Islam Sulu
Kesultanan Sulu merupakan kesultanan Islam yang terletak di Filipina bagian
selatan. Islam masuk dan berkembang di Sulu melalui orang Arab yang melewati
jalur perdagangan Malaka dan Filipina. Pembawa Islam di Sulu adalah Syarif
Karim Al-Makdum, mubaligh Arab yang ahli ilmu pengobatan. Abu Bakar, seorang
da’i dari Arab menikah dengan putri dari pengeran Bwansa dan kemudian
memerintah di Sulu dengan mengangkat dirinya sebagai Sultan.
Di dalam
silsilah Sultan Sulu secara jelas dinyatakan bahwa Sayid Abu Bakar dijadikan
sultan. Hal tersebut menunjukkan bahwa penduduk Bwansa dan pemimpin-pemimpin
mareka pastilah orang yang telah memeluk agama Islam dan memiliki kemauan untuk
menerima suatu kerajaan Islam di negerinya. Oleh karena itu, Islam diterapkan
oleh Sayid Abu Bakar baik di pemerintahan maupun dalam kehidupan masyarakanya.
Para
penguasa kesultanan Sulu di Filipina Selatan yang dimulai sejak Syarif Abu
Bakar ( Sultan Syarif Al-Hasyim ) tahun 1405-1420 M hingga Sultan Jamalul Kiram
II tahun 1887 berjumlah 32 Sultan.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Perkembangan
Islam awal di Asia Tenggara dapat diklasifikasikan menjadi tiga fase, pertama
adalah fase singgahnya para pedagang muslim di pelabuhan-pelabuhan Asia
Tenggara, kedua adanya komunitas-komunitas muslim di berbagai daerah di
Nusantara, ketiga adalah fase berdirinya kerajaan-kerajaan Islam (kesultanan)
di Asia Tenggara.
Proses
Islamisasi di Asia Tenggara tidak dapat dilepaskan dari peranan kesultanan
(kerajaan Islam). Berawal ketika raja setempat memeluk Islam, selanjutnya
diikuti para pembesar istana, kaum bangsawan, perdana menteri, panglima,
hulubalang dan kemudian rakyatnya. Dalam perkembangan selanjutnya, kesultanan
memainkan peran penting tidak hanya dalam pemapanan kesultanan sebagai
institusi politik muslim, pembentukan dan pengembangan institusi muslim
lainnya, seperti pendidikan dan hukum (peradilan agama) tetapi juga dalam
peningkatan syiar dan dakwah Islam.
Sejak kehadirannya, kesultanan Islam menjadi
kekuatan vital dalam perdagangan bebas internasional dan tidak lepas juga
dengan syiar agama yang dibawa oleh saudagar dan ulama muslim. Dalam hal ini
kesultanan mencapai kemakmuran yang pada gilirannya sangat menentukan bagi
perkembangan Islam secara keseluruhan di Asia Tenggara.
Adapun Malaka dikenal sebagai pintu gerbang Nusantara.
Julukan ini diberikan sebagai jalan lalu lintas antara Asia Timur dan Asia
Barat bagi para pedagang yang hendak keluar masuk pelabuhan di Asia Tenggara.
Sedangkan Aceh menjadi pintu masuk para pendatang Islam sehingga mendapat
julukan Serambi Mekah.
DAFTAR PUSTAKA
Helmiati, (2011). Sejarah Islam Asia Tenggara, Pekanbaru:
ZANAFA Publishing.
Amin, Samsul Munir, (2010). Sejarah Peradaban Islam,
Jakarta : AMZAH.
Sunanto, Musayrifah. (2010). Sejarah
Peradaban Islam Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers.
Yatim Badri, (2010). Dirasah
Islamiyah II, Jakarta : Rajawali Pers.
[1]Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban
Islam, ( Jakarta : AMZAH, 2010 ), hlm. 331.
[2]Ibid., hlm. 332.
[3]Musyarifah Sunanto, Sejarah Peradaban
Islam Indonesia, ( Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm.24
[4]Helmiati, Sejarah Islam Asia Tenggara,
( Pekanbaru : Suska Press, 2011 ), hlm. 23.
[5]Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban
Islam, ( Jakarta : AMZAH, 2010 ), hlm. 333.
[6]Q.S. Al-Ma’idah : 38
[7] Q.S. An-Nur : 2
[8]Q.S. Al-Baqarah : 275
[9]Helmiati, Op.Cit., hlm. 43-44.
Baca Juga:
Bank Umum Syariah (Perbankan Syariah)
Mudharabah (Bagi Hasil)
UU No. 21 Tahun 2011 tentang OJK
Struktur dan Lembaga-lembaga Pasar Modal
Sejarah Bursa Efek Indonesia
Pasar Primer dan Pasar Sekunder
No comments:
Post a Comment