A.
SEJARAH BURSA EFEK INDONESIA (BEI)
Sekitar awal abad
ke-19 pemerintah kolonial Belanda mulai membangun perkebunan secara
besar-besaran di Indonesia. Sebagai salah satu sumber dana adalah dari para
penabung yang telah dikerahkan sebaik-baiknya. Para penabung tersebut terdiri
dari orang-orang Belanda dan Eropa lainnya yang penghasilannya sangat jauh
lebih tinggi dari penghasilan penduduk pribumi.
Atas dasar itulah maka
pemerintahan kolonial waktu itu mendirikan pasar modal. Setelah mengadakan
persiapan, maka akhirnya berdiri secara resmi pasar modal di Indonesia yang
terletak di Batavia (Jakarta) pada tanggal 14 Desember 1912 dan bernama
Vereniging voor de Effectenhandel (bursa efek) dan langsung memulai
perdagangan.
Pada saat awal
terdapat 13 anggota bursa yang aktif (makelar) yaitu : Fa. Dunlop & Kolf;
Fa. Gijselman & Steup; Fa. Monod & Co.; Fa. Adree Witansi & Co.;
Fa. A.W. Deeleman; Fa. H. Jul Joostensz; Fa. Jeannette Walen; Fa. Wiekert &
V.D. Linden; Fa. Walbrink & Co; Wieckert & V.D. Linden; Fa. Vermeys
& Co; Fa. Cruyff dan Fa. Gebroeders.
Sedangkan Efek yang
diperjual-belikan adalah saham dan obligasi perusahaan/perkebunan Belanda yang
beroperasi di Indonesia, obligasi yang diterbitkan Pemerintah (propinsi dan
kotapraja), sertifikat saham perusahaan-perusahaan Amerika yang diterbitkan
oleh kantor administrasi di negeri Belanda serta efek perusahaan Belanda
lainnya.
Perkembangan pasar
modal di Batavia tersebut begitu pesat sehingga menarik masyarakat kota
lainnya. Untuk menampung minat tersebut, pada tanggal 11 Januari 1925 di kota
Surabaya dan 1 Agustus 1925 di Semarang resmi didirikan bursa.
Anggota bursa di
Surabaya waktu itu adalah : Fa. Dunlop & Koff, Fa. Gijselman & Steup,
Fa. V. Van Velsen, Fa. Beaukkerk & Cop, dan N. Koster. Sedangkan anggota
bursa di Semarang waktu itu adalah : Fa. Dunlop & Koff, Fa. Gijselman &
Steup, Fa. Monad & Co, Fa. Companien & Co, serta Fa. P.H. Soeters &
Co.
Perkembangan pasar modal waktu itu cukup menggembirakan yang
terlihat dari nilai efek yang tercatat yang mencapai NIF 1,4 milyar (jika di
indeks dengan harga beras yang disubsidi pada tahun 1982, nilainya adalah + Rp.
7 triliun) yang berasal dari 250 macam efek.
Perang Dunia II
Perang Dunia II
Pada permulaan tahun 1939 keadaan suhu politik
di Eropa menghangat dengan memuncaknya kekuasaan Adolf Hitler. Melihat keadaan
ini, pemerintah Hindia Belanda mengambil kebijaksanaan untuk memusatkan
perdagangan Efek-nya di Batavia serta menutup bursa efek di Surabaya dan di
Semarang.
Namun pada tanggal 17 Mei 1940 secara
keseluruhan kegiatan perdagangan efek ditutup dan dikeluarkan peraturan yang
menyatakan bahwa semua efek-efek harus disimpan dalam bank yang ditunjuk oleh
Pemerintah Hindia Belanda. Penutupan ketiga bursa efek tersebut sangat
mengganggu likuiditas efek, menyulitkan para pemilik efek, dan berakibat pula
pada penutupan kantor-kantor pialang serta pemutusan hubungan kerja. Selain itu
juga mengakibatkan banyak perusahaan dan perseorangan enggan menanam modal di
Indonesia.
Dengan demikian, dapat dikatakan, pecahnya
Perang Dunia II menandai berakhirnya aktivitas pasar modal pada zaman
penjajahan Belanda.
Aktif Kembali
Setahun setelah pemerintahan Belanda mengakui
kedaulatan RI, tepatnya pada tahun 1950, obligasi Republik In
donesia
dikeluarkan oleh pemerintah. Peristiwa ini menandai mulai aktifnya kembali
Pasar Modal Indonesia.
Didahului dengan diterbitkannya Undang-undang
Darurat No. 13 tanggal 1 September 1951, yang kelak ditetapkankan sebagai
Undang-undang No. 15 tahun 1952 tentang Bursa, pemerintah RI membuka kembali
Bursa Efek di Jakarta pada tanggal 31 Juni 1952, setelah terhenti selama 12
tahun. Adapun penyelenggaraannya diserahkan kepada Perserikatan Perdagangan
Uang dan Efek-efek (PPUE) yang terdiri dari 3 bank negara dan beberapa makelar
Efek lainnya dengan Bank Indonesia sebagai penasihat.
Sejak itu Bursa Efek berkembang dengan pesat,
meskipun Efek yang diperdagangkan adalah Efek yang dikeluarkan sebelum Perang
Dunia II. Aktivitas ini semakin meningkat sejak Bank Industri Negara
mengeluarkan pinjaman obligasi berturut-turut pada tahun 1954, 1955, dan 1956.
Para pembeli obligasi banyak warga negara Belanda, baik perorangan maupun badan
hukum. Semua anggota diperbolehkan melakukan transaksi abitrase dengan luar
negeri terutama dengan Amsterdam.
Masa Konfrontasi
Namun keadaan ini hanya berlangsung sampai pada tahun 1958,
karena mulai saat itu terlihat kelesuan dan kemunduran perdagangan di Bursa.
Hal ini diakibatkan politik konfrontasi yang dilancarkan pemerintah RI terhadap
Belanda sehingga mengganggu hubungan ekonomi kedua negara dan mengakibatkan
banyak warga negara Belanda meninggalkan Indonesia.
Perkembangan tersebut makin parah sejalan dengan memburuknya
hubungan Republik Indonesia dengan Belanda mengenai sengketa Irian Jaya dan
memuncaknya aksi pengambil-alihan semua perusahaan Belanda di Indonesia, sesuai
dengan Undang-undang Nasionalisasi No. 86 Tahun 1958.
Kemudian disusul dengan instruksi dari Badan Nasionalisasi Perusahaan
Belanda (BANAS) pada tahun 1960, yaitu larangan bagi Bursa Efek Indonesia untuk
memperdagangkan semua Efek dari perusahaan Belanda yang beroperasi di
Indonesia, termasuk semua Efek yang bernominasi mata uang Belanda, makin
memperparah perdagangan Efek di Indonesia.
Tingkat inflasi pada waktu itu yang cukup tinggi ketika itu,
makin menggoncang dan mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap pasar uang dan
pasar modal, juga terhadap mata uang rupiah yang mencapai puncaknya pada tahun
1966.
Penurunan ini mengakibatkan nilai nominal saham dan obligasi
menjadi rendah, sehingga tidak menarik lagi bagi investor. Hal ini merupakan
pasang surut Pasar Modal Indonesia pada zaman Orde Lama.
Langkah demi langkah diambil oleh pemerintah Orde Baru untuk
mengembalikan kepercayaan rakyat terhadap nilai mata uang rupiah. Disamping
pengerahan dana dari masyarakat melalui tabungan dan deposito, pemerintah terus
mengadakan persiapan khusus untuk membentuk Pasar Modal.
Dengan surat keputusan direksi BI No. 4/16 Kep-Dir tanggal 26
Juli 1968, di BI di bentuk tim persiapan (PU) Pasar Uang dan (PM) Pasar Modal.
Hasil penelitian tim menyatakan bahwa benih dari PM di Indonesia sebenarnya
sudah ditanam pemerintah sejak tahun 1952, tetapi karena situasi politik dan
masyarakat masih awam tentang pasar modal, maka pertumbuhan Bursa Efek di
Indonesia sejak tahun 1958 s/d 1976 mengalami kemunduran.
Setelah tim menyelesaikan tugasnya dengan baik, maka dengan
surat keputusan Kep-Menkeu No. Kep-25/MK/IV/1/72 tanggal 13 Januari 1972 tim
dibubarkan, dan pada tahun 1976 dibentuk Bapepam (Badan Pembina Pasar Modal)
dan PT Danareksa. Bapepam bertugas membantu Menteri Keuangan yang diketuai oleh
Gubernur Bank Sentral.
Dengan terbentuknya Bapepam, maka terlihat kesungguhan dan
intensitas untuk membentuk kembali PU dan PM. Selain sebagai pembantu menteri
keuangan, Bapepam juga menjalankan fungsi ganda yaitu sebagai pengawas dan
pengelola bursa efek.
Pada tanggal 10 Agustus 1977 berdasarkan kepres RI No. 52 tahun
1976 pasar modal diaktifkan kembali dan go publik-nya beberapa perusahaan. Pada
jaman orde baru inilah perkembangan PM dapat di bagi menjadi 2, yaitu tahun
1977 s/d 1987 dan tahun 1987 s/d sekarang.
Perkembangan pasar modal selama tahun 1977 s/d 1987 mengalami
kelesuan meskipun pemerintah telah memberikan fasilitas kepada
perusahaan-perusahaan yang memanfaatkan dana dari bursa efek.
Fasilitas-fasilitas yang telah diberikan antara lain fasilitas perpajakan untuk
merangsang masyarakat agar mau terjun dan aktif di Pasar Modal.
Tersendatnya perkembangan pasar modal selama periode itu
disebabkan oleh beberapa masalah antara lain mengenai prosedur emisi saham dan
obligasi yang terlalu ketat, adanya batasan fluktuasi harga saham dan lain
sebagainya.
Untuk mengatasi masalah itu pemerintah mengeluarkan berbagai
deregulasi yang berkaitan dengan perkembangan pasar modal, yaitu Paket
Kebijaksanaan Desember 1987, Paket Kebijaksanaan Oktober 1988, dan Paket
Kebijaksanaan Desember 1988.
Pakdes 1987
Pakdes 1987
Pakdes 1987 merupakan penyederhanaan persyaratan proses emisi
saham dan obligasi, dihapuskannya biaya yang sebelumnya dipungut oleh Bapepam,
seperti biaya pendaftaran emisi efek. Selain itu dibuka pula kesempatan bagi
pemodal asing untuk membeli efek maksimal 49% dari total emisi.
Pakdes 87 juga menghapus batasan fluktuasi harga saham di bursa
efek dan memperkenalkan bursa paralel. Sebagai pilihan bagi emiten yang belum
memenuhi syarat untuk memasuki bursa efek.
Pakto 88
Pakto 88 ditujukan pada sektor perbankkan, namun mempunyai
dampak terhadap perkembangan pasar modal. Pakto 88 berisikan tentang ketentuan
3 L (Legal, Lending, Limit), dan pengenaan pajak atas bunga deposito.
Pengenaan pajak ini berdampak positif terhadap perkembangan
pasar modal. Sebab dengan keluarnya kebijaksanaan ini berarti pemerintah
memberi perlakuan yang sama antara sektor perbankan dan sektor pasar modal.
Pakdes 88
Pakdes 88
Pakdes 88 pada dasarnya memberikan dorongan yang lebih jauh pada
pasar modal dengan membuka peluang bagi swasta untuk menyelenggarakan bursa.
Karena tiga kebijaksanaan inilah pasar modal menjadi aktif untuk
periode 1988 hingga sekarang.
Pada waktu Pasar Modal dihidupkan kembali tahun 1976,
dibentuklah Bapepam, singkatan dari Badan Pelaksana Pasar Modal.
Menurut Keppres No.52/1976, Bapepam bertugas:
1.
Mengadakan penilaian terhadap perusahaan-perusahaan yang akan
menjual saham-sahamnya melalui Pasar Modal apakah telah memenuhi persyaratan
yang ditentukan dan sehat serta baik;
2. Menyelenggarakan Bursa
Pasar Modal yang efektif dan efisien;
3.
terus-menurus mengikuti perkembangan perusahaan-perusahaan yang
menjual saham-sahamnya melalui pasar modal.
Bapepam dipimpin oleh seorang ketua yang
diangkat oleh Presiden dan dalam melaksanakan tugasnya ia bertanggung-jawab
kepada Menteri Keuangan.
Akhir Dualisme
Pada mulanya, selain bertindak sebagai
penyelenggara, Bapepam sekaligus merupakan pembina dan pengawas. Namun akhirnya
dualisme pada diri Bapepam ini ditiadakan pada tahun 1990 dengan keluarnya
Keppres No. 53/1990 dan SK Menkeu No. 1548/1990.
Keluarnya Keppres 53 tentang Pasar Modal dan
SK Menkeu No. 1548 tahun 1990 itu menandai era baru bagi perkembangan pasar
modal. Dualisme fungsi Bapepam dihapus, sehingga lembaga ini dapat memfokuskan
diri pada pengawasan pembinaan pasar modal.
Dengan fungsi ini, Bapepam dapat mewujudkan
tujuan penciptaan kegiatan pasar modal yang teratur wajar, efisien, serta
melindungi kepentingan pemodal dan masyarakat.
Terbentuknya BEI
Pada tahun
2007 demi efektivitas operasional dan transaksi, Pemerintah memutuskan untuk
menggabung Bursa Efek Jakarta sebagai pasar saham dengan Bursa Efek Surabaya sebagai pasar obligasi dan derivatif menjadi Bursa Efek Indonesia (disingkat BEI, atau Indonesia Stock Exchange (IDX)).
Sejarah Singkat BEI
Secara singkat, tonggak perkembangan pasar modal di
Indonesia dapat dilihat sebagai berikut:
· 14 Desember 1912 : Bursa Efek
pertama di Indonesia dibentuk di Batavia oleh Pemerintah Hindia Belanda.
· 1914 – 1918 : Bursa Efek di Batavia
ditutup selama Perang Dunia I
· 1925 – 1942 : Bursa Efek di Jakarta
dibuka kembali bersama dengan Bursa Efek di Semarang dan Surabaya
· Awal tahun 1939 : Karena isu politik
(Perang Dunia II) Bursa Efek di Semarang dan Surabaya ditutup.
· 1942 – 1952 : Bursa Efek di Jakarta
ditutup kembali selama Perang Dunia II
· 1952 : Bursa Efek di Jakarta
diaktifkan kembali dengan UU Darurat Pasar Modal 1952, yang dikeluarkan oleh
Menteri kehakiman (Lukman Wiradinata) dan Menteri keuangan (Prof.DR. Sumitro
Djojohadikusumo). Instrumen yang diperdagangkan: Obligasi Pemerintah RI
(1950)
· 1956 : Program nasionalisasi
perusahaan Belanda. Bursa Efek semakin tidak aktif.
· 1956 – 1977 : Perdagangan di Bursa
Efek vakum.
· 10 Agustus 1977 : Bursa Efek
diresmikan kembali oleh Presiden Soeharto. BEJ dijalankan dibawah BAPEPAM
(Badan Pelaksana Pasar Modal). Tanggal 10 Agustus diperingati sebagai HUT Pasar
Modal. Pengaktifan kembali pasar modal ini juga ditandai dengan go public PT
Semen Cibinong sebagai emiten pertama.
· 1977 – 1987 : Perdagangan di Bursa
Efek sangat lesu. Jumlah emiten hingga 1987 baru mencapai 24. Masyarakat lebih
memilih instrumen perbankan dibandingkan instrumen Pasar Modal.
· 1987 : Ditandai dengan hadirnya
Paket Desember 1987 (PAKDES 87) yang memberikan kemudahan bagi perusahaan untuk
melakukan Penawaran Umum dan investor asing menanamkan modal di
Indonesia.
· 1988 – 1990 : Paket deregulasi
dibidang Perbankan dan Pasar Modal diluncurkan. Pintu BEJ terbuka untuk asing.
Aktivitas bursa terlihat meningkat.
· 2 Juni 1988 : Bursa Paralel
Indonesia (BPI) mulai beroperasi dan dikelola oleh Persatuan Perdagangan Uang
dan Efek (PPUE), sedangkan organisasinya terdiri dari broker dan dealer.
· Desember 1988 : Pemerintah
mengeluarkan Paket Desember 88 (PAKDES 88) yang memberikan kemudahan perusahaan
untuk go public dan beberapa kebijakan lain yang positif bagi pertumbuhan pasar
modal.
· 16 Juni 1989 : Bursa Efek Surabaya
(BES) mulai beroperasi dan dikelola oleh Perseroan Terbatas milik swasta yaitu
PT Bursa Efek Surabaya.
· 13 Juli 1992 : Swastanisasi BEJ.
BAPEPAM berubah menjadi Badan Pengawas Pasar Modal. Tanggal ini diperingati
sebagai HUT BEJ.
· 22 Mei 1995 : Sistem Otomasi
perdagangan di BEJ dilaksanakan dengan sistem computer JATS (Jakarta Automated
Trading Systems).
· 10 November 1995 : Pemerintah
mengeluarkan Undang –Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Undang-Undang
ini mulai diberlakukan mulai Januari 1996.
· 1995 : Bursa Paralel Indonesia
merger dengan Bursa Efek Surabaya.
· 2000 : Sistem Perdagangan Tanpa
Warkat (scripless trading) mulai diaplikasikan di pasar modal Indonesia.
· 2002 : BEJ mulai mengaplikasikan
sistem perdagangan jarak jauh (remote trading).
· 2007 : Penggabungan Bursa Efek
Surabaya (BES) ke Bursa Efek Jakarta (BEJ) dan berubah nama menjadi Bursa Efek
Indonesia (BEI).
Struktur
Pasar Modal Indonesia
Struktur
Pasar Modal Indonesia telah diatur oleh UU No. 8 Tahun 1995 tentang pasar Modal
B.
PENGGANTIAN TUGAS DARI BAPEPAM KE OJK
Kelahiran
BAPEPAM
Pada waktu Pasar Modal dihidupkan kembali tahun
1976, dibentuklah Bapepam, singkatan dari Badan Pelaksana Pasar Modal. Menurut
Keppres No.52/1976, Bapepam bertugas:
1. Mengadakan
penilaian terhadap perusahaan-perusahaan yang akan menjual saham-sahamnya
melalui Pasar Modal apakah telah memenuhi persyaratan yang ditentukan dan sehat
serta baik;
2. Menyelenggarakan
Bursa Pasar Modal yang efektif dan efisien;
3. Terus-menurus
mengikuti perkembangan perusahaan-perusahaan yang menjual saham-sahamnya
melalui pasar modal.
Pada mulanya, selain bertindak sebagai
penyelenggara, Bapepam sekaligus merupakan pembina dan pengawas. Namun akhirnya
dualisme pada diri Bapepam ini ditiadakan pada tahun 1990 dengan keluarnya
Keppres No. 53/1990 dan SK Menkeu No. 1548/1990.
Keluarnya Keppres 53 tentang Pasar Modal dan SK Menkeu No. 1548 tahun 1990 itu menandai era baru bagi perkembangan pasar modal. Dualisme fungsi Bapepam dihapus, sehingga lembaga ini dapat memfokuskan diri pada pengawasan pembinaan pasar modal.
Dengan fungsi ini, Bapepam dapat mewujudkan tujuan penciptaan kegiatan pasar modal yang teratur wajar, efisien, serta melindungi kepentingan pemodal dan masyarakat.
Keluarnya Keppres 53 tentang Pasar Modal dan SK Menkeu No. 1548 tahun 1990 itu menandai era baru bagi perkembangan pasar modal. Dualisme fungsi Bapepam dihapus, sehingga lembaga ini dapat memfokuskan diri pada pengawasan pembinaan pasar modal.
Dengan fungsi ini, Bapepam dapat mewujudkan tujuan penciptaan kegiatan pasar modal yang teratur wajar, efisien, serta melindungi kepentingan pemodal dan masyarakat.
Kelahiran OJK
Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
merupakan lembaga negara yang dibentuk pada tahun 2011 berdasarkan UU nomor 21
tahun 2011, dan beroperasi Januari 2013 (untuk pasar modal dan LKNB) dan 2014
(untuk perbankan). Aturan ini menjelaskan fungsi OJK dalam menyelenggarakan
sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan
kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. OJK sendiri didirikan untuk
menggantikan peran Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
(Bapepam-LK). Dengan terbentuknya OJK maka secara otomatis pengaturan dan
pengawasan Pasar Modal dan Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) beralih ke OJK. Dasar penggantian Bapepam ke OJK adalah BAB XIII KETENTUAN
PERALIHAN Pasal 55 ayat (1):“Sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas,
dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar
Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa
Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan ke OJK”.
Pembentukan OJK tentunya dengan
mempertimbangkan beberapa alasan, salah satunya adalah terkait fungsi Bank
Indonesia. Bank Indonesia yang dulunya diberi tugas mengawasi dan mengatur
sektor perbankan pada kenyataannya dianggap belum mampu menjalankan tugasnya dengan
maksimal. Bank Indonesia juga dilihat mempunyai tugas yang sangat berat
sehingga membutuhkan lembaga pembantu. Di samping itu, hingga saat ini, Bank
Indonesia masih dianggap sangat rentan dengan intervensi dari berbagai pihak
terutama pemerintah dan pengusaha. Kondisi ini menjadi dorongan untuk membentuk
lembaga pengawas yang lebih independen. Lembaga pengawas perbankan harus bebas
dari intervensi dan campur tangan pihak manapun sehingga mampu bekerja secara
professional.
No comments:
Post a Comment