Friday 5 February 2016

Paham Mu'tazilah

BAB I
PENDAHULUAN

1.1   Latar Belakang Masalah
Berbicara perpecahan umat Islam tidak ada habis-habisnya, karena terus menerus terjadi perpecahan mulai dengan munculnya khowarij dan syiah kemudian munculah satu kelompok lain yang berkedok dan berlindung dibawah syiar akal dan kebebasan berfikir. Satu syiar yang menipu dan mengelabui orang-orang yang tidak mengerti bagaimana Islam telah menempatkan akal pada porsi yang benar.sehingga banyak kaum muslimin yang terpuruk dan terjerumus masuk pemikiran kelompok ini. Akhirnya terpecahlah dan berpalinglah kaum muslimin dari agamanya yang telah diajarkan Rasulullah dan para sahabat-sahabatnya.Akibat dari hal itu munculah bid’ah-bid’ah yang semakin banyak dikalangan kaum muslimin sehingga melemahkan kekuatan dan kesatuan mereka serta memberikan gambaran yang tidak benar terhadap ajaran Islam, bahkan dalam kelompok ini terdapat hal-hal yang sangat berbahaya bagi Islam yaitu mereka lebih mendahulukan akal. Oleh karena itu pemakalah akan membahas tentang Pemikiran Teologi Mu’tazilah.

1.2  Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian Mu’tazilah dan bagaimana asal usulnya?
2.      Apa saja konsensus dari Mu’tazilah?
3.      Siapa saja tokoh-tokoh Mu’tazilah?
4.      Apa saja prinsip-prinsip Mu’tazilah?
5.      Apayang dimaksud dengan al-mihnah dan bagaimana perkembangannya?


Perbankan Syariah

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
            Karakteristik sistem perbankan syariah yang beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil memberikan alternatif sistem perbankan yang saling menguntungkan bagi masyarakat dan bank, serta menonjolkan aspek keadilan dalam bertransaksi, investasi yang beretika, mengedepankan nilai-nilai kebersamaan dan persaudaraan dalam berproduksi, dan menghindari kegiatan spekulatif dalam bertransaksi keuangan. Dengan menyediakan beragam produk serta layanan jasa perbankan yang beragam dengan skema keuangan yang lebih bervariatif, perbankan syariah menjadi alternatif sistem perbankan yang kredibel dan dapat dinimati oleh seluruh golongan masyarakat Indonesia tanpa terkecuali.

            Dalam konteks pengelolaan perekonomian makro, meluasnya penggunaan berbagai produk dan instrumen keuangan syariah akan dapat merekatkan hubungan antara sektor keuangan dengan sektor riil serta menciptakan harmonisasi di antara kedua sektor tersebut. Semakin meluasnya penggunaan produk dan instrumen syariah disamping akan mendukung kegiatan keuangan dan bisnis masyarakat juga akan mengurangi transaksi-transaksi yang bersifat spekulatif, sehingga mendukung stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan, yang pada gilirannya akan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pencapaian kestabilan harga jangka menengah-panjang.

            Dengan telah diberlakukannya Undang-Undang No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang terbit tanggal 16 Juli 2008, maka pengembangan industri perbankan syariah nasional semakin memiliki landasan hukum yang memadai dan akan mendorong pertumbuhannya secara lebih cepat lagi. Dengan progres perkembangannya yang impresif, yang mencapai rata-rata pertumbuhan aset lebih dari 65% pertahun dalam lima tahun terakhir, maka diharapkan peran industri perbankan syariah dalam mendukung perekonomian nasional akan semakin signifikan.





BAB II
PEMBAHASAN

A. Kebijakan Pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia
            Untuk memberikan pedoman bagi stakeholders perbankan syariah dan meletakkan posisi serta cara pandang Bank Indonesia dalam mengembangkan perbankan syariah di Indonesia, selanjutnya Bank Indonesia pada tahun 2002 telah menerbitkan Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia Dalam penyusunannya, berbagai aspek telah dipertimbangkan secara komprehensif, antara lain kondisi aktual industri perbankan syariah nasional beserta perangkat-perangkat terkait, trend perkembangan industri

Hiwalah

BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
Bila menganalisis berbagai perintah agama islam dengan seksama, maka dengan mudah kita dapat memperoleh prinsip yang berkaitan dengan piutang konsumtif. Adapun prinsip piutang konsumtif adalah Prinsip kemurnian, perjanjian, pembayaran dan bantuan yang timbul dari kenyataan bahwa mengambil suatu kredit tanpa suatu sebab yang shahih, ditolak oleh Rasulullah yang diriwayatkan berlindung dari utang maupun dosa. Aisyah berkata rasulullah SAW biasa berdoa dengan mengucapkan kata-kata “Yaa Allah, aku berlindung padamu dari dosa dan berutang”. Seseorang bertanya padanya “Yaa Rasulullah, mengapa begitu sering engkau berlindung dari berutang?”Jawabnya “Bila orang berutang, dia berdusta, berbohong dan berjanji.Tetapi memungkiri janjinya” (HR. BUKHARI).
Sedangkan dalam hawalah ini terjadi perpindahan tanggungan atau hak dari satu orang kepada orang lain. Dan pengalihan penagihan hutang ini dibenarkan oleh syariah dan telah dipraktekkan oleh kaum Muslimin dari zaman Nabi Muhammad SAW sampai sekarang. Dalam al-Qur’an kaum Muslimin diperintahkan untuk saling tolong menolong satu sama lain. Sebagaimana telah dijelaskan dalam Firman Allah Q.S.Al-Maidah ayat 2.
1.      Apadefinisi dari hiwalah (pemindahan hutang)?
2.      Apa dasar hukum hiwalah?
3.      Aparukun hiwalah?
4.      Apasaja syarat-syarat hiwalah?
5.      Apasaja jenis-jenis hiwalah?
6.      Bagaimana hakikat dari hiwalah?
7.      Bagaimana unsur kerelaan dalam hiwalah?
8.      Bagaimana beban muhil setelah hiwalah?
9.      Bagaimana berakhirnya akad hiwalah?






BAB II
PEMBAHASAN

A.   Definisi Hiwalah (Pemindahan Hutang)
Hiwalah diambil dari kata tahawwul (berpindah) atau tahwil (pemindahan).Hiwalah maksudnya adalah memindahkan utang dari tanggungan muhiil (pengutang pertama) kepada tanggungan muhaal ‘alaih (pengutang kedua).Dalam hiwalah ada istilah muhiil, muhaal, dan muhaal ‘alaih.Muhiil artinya orang yang berutang, sedangkan muhaal artinya pemberi utang, adapun muhaal‘alaih adalah orang yang yang akan membayar utang.
Hiwalah merupakan salah satu tindakan yang tidak membutuhkan ijab dan qabul, dan dipandang sah dengan kata-kata apa saja yang menunjukkan demikian, seperti “Ahaltuka” (saya akan menghiwalahkan), Atba’tukabidainikaalaafulaan” (saya akan pindahkan utangmu kepada si fulan) dan sebagainya.

B.      Dasar Hukum Hiwalah
1.      Al-Qur’an
Dalam Al-Qur’an kaum Muslimin diperintahkan untuk saling tolong menolong satu sama lain. Sebagaimana telah dijelaskan dalam Firman Allah Q.S.Al-Maidah ayat 2 yang artinya:
…dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.
2. Hadits
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairoh, bahwa Rasulullah saw, bersabda:
مطل ا لغني ظلم فادا أ تبع أ حدكم على ملي فليتبع
“Memperlambat pembayaran hukum yang dilakukan oleh orang kaya merupakan perbuatan zalim. Jika salah seorang kamu dialihkan kepada orang yang mudah membayar hutang, maka hendaklah ia beralih(diterima pengalihan tersebut)”.(HR Jama’ah)
Pada hadits ini Rasulullah memerintahkan kepada orang yang menghutangkan, jika orang yang berhutang menghiwalahkan kepada orang yang kaya dan berkemampuan, hendaklah ia menerima hiwalah tersebut, dan hendaklah ia mengikuti (menagih) kepada orang yang dihiwalahkannya (muhal'alaih), dengan demikian hakknya dapat terpenuhi (dibayar).
Kebanyakan pengikut mazhab Hambali, Ibnu Jarir, Abu Tsur dan Az Zahiriyah berpendapat : bahwa hukumnya wajib bagi yang menghutangkan (da'in) menerima hiwalah, dalam rangka mengamalkan perintah ini. Sedangkan jumhur ulama berpendapat : perintah itu bersifat sunnah.
3.      Ijma’
Para ulama sepakat membolehkan hawalah.Hawalah dibolehkan pada hutang yang tidak berbentuk barang/ benda, karena hawalah adalah perpindahan utang, oleh sebab itu harus pada utang atau kewajiban finansial.


C.   Rukun Hiwalah
Menurut mazhab Hanafi, rukun hiwalah hanya ijab (pernyataan melakukan hiwalah) dari pihak pertama, dan qabul (penyataan menerima hiwalah) dari pihak kedua dan pihak ketiga.
Menurut mazhab Maliki, Syafi’i dan Hambali rukun hiwalah ada enam yaitu:
1.    Pihak pertama, muhil (المحيل):Yakni orang yang berhutang dan sekaligus berpiutang,
2.      Pihak kedua, muhal atau muhtal (المحال او المحتال):Yakni orang berpiutang kepada muhil.
3.      Pihak ketiga muhal ‘alaih (المحال عليه):Yakni orang yang berhutang kepada muhil dan wajib
membayar hutang kepada muhtal.
4.      Ada hutang  pihak pertama pada pihak kedua, muhal bih (المحال به):Yakni hutang muhil
kepada muhtal.
5.    Ada hutang pihak ketiga kepada pihak pertama. Utang muhal ‘alaih kepada muhil.
6.     Ada sighoh (pernyataan hiwalah).

D.   Syarat-Syarat Hiwalah
Persyaratan hawalah ini berkaitan dengan Muhil, Muhal, Muhal Alaih dan Muhal Bih.
Persyaratan yang berkaitan dengan Muhil, ia disyaratkan harus, pertama, berkemampuan untuk melakukan akad (kontrak). Hal ini hanya dapat dimiliki jika ia berakal dan baligh. Hawalah tidak sah dilakukan oleh orang gila dan anak kecil karena tidak bisa atau belum dapat dipandang sebagai orang yang bertanggung secara hukum.Kedua, kerelaan Muhil. Ini disebabkan karena hawalah mengandung pengertian kepemilikan sehingga tidak sah jika ia dipaksakan. Di samping itu persyaratan ini diwajibkan para fukoha terutama untuk meredam rasa kekecewaan atau ketersinggungan yang mungkin dirasakan oleh Muhil ketika diadakan akad hawalah
Persyaratan yang berkaitan dengan Muhal.Pertama,Ia harus memiliki kemampuan untuk melaksanakan kontrak. Ini sama dengan syarat yang harus dipenuhi oleh Muhil. Kedua, kerelaan dari Muhal karena tidak sah jika hal itu dipaksakan. Ketiga, ia bersedia menerima akad hawalah.
Persyaratan yang berkaitan dengan Muhal Alaih.Pertama,sama dengan syarat pertama bagi Muhil dan Muhal yaitu berakal dan balig. Kedua, kerelaan dari hatinya karena tidak boleh dipaksakan. Ketiga, ia menerima akad hawalah dalam majlis atau di luar majlis.
Persyaratan yang berkaitan dengan Muhal Bih.Pertama,ia harus berupa hutang dan hutang itu merupakan tanggungan dari Muhil kepada Muhal. Kedua, hutang tersebut harus berbentuk hutang lazim artinya bahwa hutang tersebut hanya bisa dihapuskan dengan pelunasan atau penghapusan.
E.   Jenis-Jenis Hiwalah
Ada dua jenis hawalah yaitu hawalah muthlaqoh dan hawalah Muqoyyadah.
·        Hawalah Muthlaqoh
Hawalah ini terjadi jika orang yang berhutang (orang pertama) kepada orang lain ( orang kedua) mengalihkan hak penagihannya kepada pihak ketiga tanpa didasari pihak ketiga ini berhutang kepada orang pertama. Jika A berhutang kepada B dan A mengalihkan hak penagihan B kepada C, sementara C tidak punya hubungan hutang pituang kepada B, maka hawalah ini disebut Muthlaqoh. Ini hanya dalam madzhab Hanafi dan Syi’ah sedangkan jumhur ulama mengklasifikasikan jenis hawalah ini sebagai kafalah.

·        Hawalah Muqoyyadah
Hawalah ini terjadi jika Muhil mengalihkan hak penagihan Muhal kepada Muhal Alaih karena yang terakhir punya hutang kepada Muhal.Inilah hawalah yang boleh (jaiz) berdasarkan kesepakatan para ulama.
Ketiga madzhab selain madzhab hanafi berpendapat bahwa hanya membolehkan hawalah muqayyadah dan menyariatkan pada hawalah muqayyadah agar utang muhal kepada muhil dan utang muhal alaih kepada muhil harus sama, baik sifat maupun jumlahnya. Jika sudah sama jenis dan jumlahny, maka sahlah hawalahnya. Tetapi jika salah satunya berbeda, maka hawalah tidak sah.

·        Hawalah Haq
Hawalah ini adalah pemindahan piutang dari satu piutang kepada piutang yang lain dalam bentuk uang bukan dalam bentuk barang. Dalam hal ini yang bertindak sebagai Muhil adalah pemberi utang dan ia mengalihkan haknya kepada pemberi hutang yang lain sedangkan orang yang berhutang tidak berubah atau berganti, yang berganti adalah piutang. Ini terjadi jika piutang A mempunyai hutang kepada piutang B.

·        Hawalah Dayn
Hawalah ini adalah pemindahan hutang kepada orang lain yang mempunyai hutang kepadanya. Ini berbeda dari hawalah Haq. Pada hakekatnya hawalah dayn sama pengertiannya dengan hawalah yang telah diterangkan di depan.

F.    Hakikat Hiwalah
            Kalangan Hanafiah dan Malikiah berpendapat bahwa hawalah adalah pengecualian dalam transaksi jual beli, yakni menjual hutang dengan hutang.Hal ini karena manusia sangat membutuhkannya.Hal ini juga merupakan pendapat yang paling dianggap sahih di kalangan Syafi’iah dan juga menurut salah satu riwayat di kalangan Hanabilah. Dasarnya adalah Hadist yang artinya :jika salah seorang dari kamu sekalian dipindahkan hutangnya kepada orang kaya, maka terimalah (HR.Bukhari dan Muslim)
            Yang sahih menurut Hanabilah bahwa hawalah adalah murni transaksi irfaq (memberi manfaat) bukan yang lainnya.
Ibnu al-Qayyim berkata, “Kaidah-kaidah syara’ mendukung dibolehkannya hawalah, dan ini sesuai dengan qiyas.

G.  Unsur Kerelaan Dalam Hiwalah
1.      Kerelaan Muhal
Mayoritas ulama Hanafiah, Malikiah dan Syafi’iah berpendapat bahwa kerelaan muhal (orang yang menerima pindahan) adalah hal yang wajib dalam hawalah karena hutang yang dipindahkan adalah haknya, maka tidak dapat dipindahkan dari tanggungan satu orang kepada yang lainnya tanpa kerelaannya.Demikian ini karena penyelesaian tanggungan itu berbeda-beda, bisa mudah, sulit, cepat dan tertunda-tunda.
Hanabilah berpendapat bahwa jika muhal ‘alaih (orang yang berhutang kepada muhil) itu mampu membayar tanpa menunda-nunda dan tidak membangkang, muhal (orang yang menerima pindahan) wajib menerima pemindahan itu dan tidak diisyaratkan adanya kerelaan darinya.Mereka mendasarkan hal ini kepada hadist yang telah diseutkan di atas.
Alasan mayoritas ulama mengenai tidak adanya kewajibanmuhal (orang yang menerima pindahan) untuk menerima hawalah adalah karena muhal ‘alaih kondisinya berbeda-beda ada yang mudah membayar dan ada yang menunda-nunda pembayaran.Dengan demikian, jika muhal ‘alaih mudah dan cepat membayar hutangnya, dapat dikatakan bahwa muhal wajib menerima hawalah.Namun jika muhal ‘alaih termasuk orang yang sulit dan suka menunda-nunda memayar hutangnya, semua ulama berpendapat muhal tidak wajib menerima hawalah.
2.      Kerelaan Muhal ‘Alaih
Mayoritas ulama Malikiah, Syafi’iah dan Hanabilah berpendapat bahwa tidak ada syarat kerelaan muhal ‘alaih, ini berdasarkan hadist yang artinya: jika alah seorang diantara kamu sekalian dipindahkan hutangnya kepada orang kaya, ikutilah (terimalah). (HR.Bukhari dan Muslim). Di samping itu, hak ada pada muhil dan ia boleh menerimanya sendiri atau mewakilkan kepada orang lain.
Hanafiah berpendapat bahwa diisyaratkan adanya kerelaan muhal ‘alaih karena setiap orang mempunyai sikap yang berbeda dalam menyelesaikan urusan hutang piutangnya, maka ia tidak wajib dengan sesuatu yang bukan menjadi kewajibannya.
Pendapat yang rajih (valid) adalah tidak disyaratkan adanya kerelaan muhal ‘alaih.Dan muhal ‘alaih akan membayar hutangnya dengan jumlah yang sama kepada siapa saja dari keduanya.

H.   Beban Muhil Setelah Hiwalah
Apabila hiwalah berjalan sah, dengan sendirinya tanggung jawab muhil gugur.Andaikata muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau membantah hiwalah atau meninggal dunia, maka muhal tidak boleh kemali lagi kepada muhil, hal ini adalah pendapat ulama jumhur.
Menurut madzhab Maliki, bila muhil telah menipu muhal, ternyata muhal ‘alaih orang fakir yang tidak memiliki sesuatu apapun untuk membayar, maka muhal boleh kembali lagi kepada muhil.Menurut imam Malik, orang yang menghiwalahkan hutang kepada orang lain, kemudian muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia dan ia belum membayar kewajiban, maka muhal tidak boleh kembali kepada muhil.
Abu Hanifah, Syarih dan Ustman berpendapat bahwa dalam keadaan muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia, maka orang yang menghutangkan (muhal) kembali lagi kepada muhil untuk menagihnya.


I.      Berakhirnya Akad Hawalah
Akad hiwalah akan berakhir oleh hal-hal berikut ini.
1.      Karena dibatalkan atau fasakh. Ini terjadi jika akad hawalah belum dilaksanakan sampai tahapan akhir lalu difasakh. Dalam keadaan ini hak penagihan dari Muhal akan kembali lagi kepada Muhil.
2.      Hilangnya hak Muhal Alaih karena meninggal dunia atau bangkrut atau ia mengingkari adanya akad hawalah sementara Muhal tidak dapat menghadirkan bukti atau saksi.
3.      Jika Muhal alaih telah melaksanakan kewajibannya kepada Muhal. Ini berarti akad hawalah benar-benar telah dipenuhi oleh semua pihak.
4.      Meninggalnya Muhal sementara Muhal alaih mewarisi harta hawalah karena pewarisan merupakah salah satu sebab kepemilikan. Jika akad ini hawalah muqoyyadah, maka berakhirlah sudah akad hawalah itu menurut madzhab Hanafi.
5.      Jika Muhal menghibahkan atau menyedekahkan harta hawalah kepada Muhal Alaih dan ia menerima hibah tersebut.
6.      Jika Muhal menghapusbukukan kewajiban membayar hutang kepada Muhal Alaih.




BAB III
PENUTUP


A.   Kesimpulan
Hiwalah diambil dari kata tahawwul (berpindah) atau tahwil (pemindahan).Hiwalah maksudnya adalah memindahkan utang dari tanggungan muhiil (pengutang pertama) kepada tanggungan muhaal ‘alaih (pengutang kedua).Dalam hiwalah ada istilah muhiil, muhaal, dan muhaal ‘alaih.Muhiil artinya orang yang berutang, sedangkan muhaal artinya pemberi utang, adapun muhaal‘alaih adalah orang yang yang akan membayar utang.
Hiwalah merupakan salah satu tindakan yang tidak membutuhkan ijab dan qabul, dan dipandang sah dengan kata-kata apa saja yang menunjukkan demikian, seperti “Ahaltuka” (saya akan menghiwalahkan), Atba’tukabidainikaalaafulaan” (saya akan pindahkan utangmu kepada si fulan) dan sebagainya.
Adapun jenis-jenis hiwalah yaitu Hiwalah Dayn, Hiwalah Haq, HiwalahMuqoyyadah, dan HiwalahMuthlaqoh.



Daftar Pustaka

Mardani, Ayat-Ayat dan Hadis Ekonomi Syariah, Jakarta : Rajawali Pers, 2011.


Sikap Pelaku Bisnis Terhadap Lingkungan Ekosistem di pandang menurut Islam

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Dalam Islam, manusia mempunyai peranan penting dalam menjaga kelestarian alam (lingkungan hidup). Islam merupakan agama yang memandang lingkungan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari keimanan seseorang terhadap Tuhannya, manifestasi dari keimanan seseorang dapat dilihat dari perilaku manusia, sebagai khalifah terhadap lingkungannya. Islam mempunyai konsep yang sangat detail terkait pemeliharaan dan kelestarian alam (lingkungan hidup).
Manusia, tanpa diragukan, merupakan tatanan makhluk tertinggi di antara makhluk-makhluk yang telah dicipta-Nya, dan segala sesuatu yang ada di bumi dan dilangit ditempatkan di bawah perintah manusia, Manusia diberi hak untuk memanfaatkan semuanya ini sebagai khalifah atau pengemban amanat Allah. Manusia diberi kekuasaan untuk melaksanakan tugas kekhalifahan (khalifah) ini dan untuk mengambil keuntungan dan manfaat sebanyak-banyaknya sesuai dengan kemampuannya dari barang-barang ciptaan Allah.[1]
Dalam konsep khilafah menyatakan bahwa manusia telah dipilih oleh Allah di muka bumi ini (khalifatullah fil’ardh). Sebagai wakil Allah, manusia wajib untuk bisa merepresentasikan dirinya sesuai dengan sifat-sifat Allah. Salah satu sifat Allah tentang alam adalah sebagai pemelihara atau penjaga alam (rabbul’alamin). Jadi sebagai wakil (khalifah) Allah di muka bumi, manusia harus aktif dan bertanggung jawab untuk menjaga bumi. Artinya, menjaga keberlangsungan fungsi bumi sebagai tempat kehidupan makhluk Allah termasuk manusia sekaligus menjaga keberlanjutan kehidupannya.
Kesadaran manusia dalam perannya sebagai khalifah yang telah ditunjuk oleh Allah di muka bumi seharusnya mulai bertindak arif dan bijaksana dalam mengelola kekayaan alam dan bumi sehingga terhindar dari kerusakan. Dan kelestarian bumi dan lingkungan hidup tetap terjaga. Disinilah maka perlu kita ketahui Bagaimanakah Etika binis islami dalam kaitannya dengan lingkungan alam. Maka dari itulah kami mencoba memaparkan seperti apakah tanggungjawab Etika binis islami dalam kaitannya dengan lingkungan alam sekitar.

1.2  Rumusan Masalah
1.      Bagaimana sikap pelaku bisnis terhadap lingkungan ekosistem?
2.      Bagaimana sikap pelaku bisnis terhadap pencemaran lingkungan sekitar?
1.3  Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui sikap pelaku bisnis terhadap lingkungan ekosistem.
2.      Mengetahui sikap pelaku bisnis terhadap pencemaran lingkungan sekitar.







BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sikap Pelaku Bisnis Terhadap Lingkungan Ekosistem
            Sebagai ciptaan Allah yang terbaik serta diberikan akal dan naluri beragama, manusia diberi kemampuan untuk mengolah alam sebagai sumber kehidupan.[2]
Dalam berinteraksi dan mengelola alam serta lingkungan hidup, manusia sebagai pelaku bisnis mengemban tiga amanat dari Allah, yaitu:
1.      Al-intifa’. Allah mempersilahkan kepada umat manusia untuk mengambil manfaat dan mendayagunakan hasil alam dengan sebaik-baiknya demi kemakmuran dan kemaslahatan artinya manusia diberi kebebasan baik mengelola atau hanya sebatas mengambil manfaat terhadap lingkungan yang selagi tidak merusak terhadap lingkungan tersebut.
2.      Al-i’tibar. Manusia dituntut untuk senantiasa memikirkan dan menggali rahasia di balik ciptaan Allah seraya dapat mengambil pelajaran dari berbagai kejadian dan peristiwa alam agar supaya bertambahan ketaqwaannya kepada Allah S.W.T Berfikirlah tentang ciptaan Allah, dan jangan berfikir tentang zat Allah.
3.      Al-islah. Manusia diwajibkan untuk terus menjaga dan memelihara kelestarian lingkungan itu untuk kelansungan hidup baik untuk dirinya ataupun mahkluk lain, karena masa depan lingkungan itu tergantung bagaimana manusia itu mengelolanya.

Allah berfirman dalam Al-Qur’an Surat Ar-Ruum ayat 9:



Artinya : Dan apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi dan memperhatikan bagaimana akibat (yang diderita) oleh orang-orang sebelum mereka? orang-orang itu adalah lebih kuat dari mereka (sendiri) dan telah mengolah bumi (tanah) serta memakmurkannya lebih banyak dari apa yang telah mereka makmurkan. Dan telah datang kepada mereka rasul-rasul mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata. Maka Allah sekali-kali tidak berlaku zalim kepada mereka, akan tetapi merekalah yang berlaku zalim kepada diri sendiri.

Dalam surat Ar-Ruum ayat 9 di atas menjelaskan agar manusia tidak mengeksploitasi sumber daya alam secara berlebihan yang dikwatirkan terjadinya kerusakan serta kepunahan sumber daya alam, sehingga tidak memberikan sisa sedikitpun untuk generasi mendatang. Untuk itu Islam mewajibkan agar manusia menjadi pelaku aktif dalam mengolah lingkungan serta melestarikannya. Mengolah serta melestarikan lingkungan tercermin secara sederhana dari tempat tinggal (rumah) seorang muslim. Rasulullah SAW menegaskan dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Thabrani :
Artinya ”Dari Abu Hurairah : jagalah kebersihan dengan segala usaha yang mampu kamu lakukan. Sesungguhnya Allah menegakkan Islam di atas prinsip kebersihan. Dan tidak akan masuk syurga, kecuali orang-orang yang bersih” . (HR. Thabrani).
Dari Hadits di atas memberikan pengertian bahwa manusia tidak boleh kikir untuk membiayai diri dan lingkungan secara wajar untuk menjaga kebersihan agar kesehatan diri dan keluarga/masyarakat kita terpelihara. Demikian pula mengusahakan penghijauan di sekitar tempat tinggal dengan menanamkan pepohonan yang bermanfaat untuk kepentingan ekonomi dan kesehatan, disamping juga dapat memelihara peredaran suara yang kita hisap agar selalu bersih, bebas dari pencemaran
            Dalam kaitan dengan pengelolaan sumber daya alam dan pelestariannya, Islam menuntun manusia agar mengelola kekayaan alam dengan ilmu dan amal. Di samping, mengingatkan agar dalam mengolah (memproduksi) kekayaan alam itu memperhatikan batas-batas haram dan halal, dan memelihara kelestariannya.[3]
Al-Qur’an menerangkan bahwa pemanfaatan kekayaan yang tersimpan dan tersebar di alam ini, tergantung pada dua hal,[4] yakni pertama, ilmu pengetahuan yang didasarkan pada tafakkur dan penggunaan akal. Ilmu yang dimaksudkan di sini, adalah ilmu-ilmu khusus (spesial) dalam berbagai bidang pengetahuan dan berbagai bidang kehidupan. Kedua, adalah amal (action/ implementation). Sesungguhnya ilmu saja tidak akan membuahkan hasil jika tidak diikuti oleh amal (tindak lanjut) dengan melakukan berbagai eksplorasi. Yang dimaksud adalah amal usaha yang terus-menerus di setiap pelosok bumi untuk mengeluarkan segala isinya, memanfaatkan kekayaannya, dan selanjutnya memakan rizki Allah yang ada padanya. Allah berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al-Mulk ayat 15:

Artinya : “Dia-lah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rizki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan”.

       Sumber daya alam merupakan nikmat Allah kepada makhluk-Nya. Manusia wajib mensyukurinya. Di antara bentuk syukur itu adalah menjaganya dari kerusakan, kehancuran, polusi, dan lain-lain yang tergolong sebagai kerusakan di muka bumi.[5] Oleh karena itu al-Qur’an menyebutkan berulang-ulang bahwa Allah tidak mencintai orang-orang yang membuat kerusakan sebagaimana firman-Nya dalam Al-Qur’an Surat Al-Ma’idah ayat 64:

Artinya: “Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang membuat kerusakan”.

       Dalam firman-Nya yang lain juga dijelaskan dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 205:

Artinya: “Dan apabila ia berperang (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan”.

Sesuai dengan karakter ajaran Islam secara universal, dalam upaya mengelola dan melestarikan lingkungan selalu mengedepankan etika (akhlak) yang bersumber dari ajaran wahyu. Oleh karena itu norma-norma yang diaplikasikan adalah berbasis al-Qur’an dan sunnah Rasulullah saw.
Jadi, manusia sebagai pelaku bisnis sekaligus menjadi khalifah di bumi, wajib memelihara apa yang ada di alam ini yang berguna untuk kemaslahatan manusia sendiri dan mencegah kerusakan alam yang timbul akibat ulah tangan manusia.[6]

2.2 Sikap Pelaku Bisnis terhadap Pencemaran Lingkungan Sekitar
          Kerusakan lingkungan tidak diragukan lagi dapat mengancam kesejahteraan manusia dan juga binatang dan tumbuhan. Polusi atau pencemaran lingkungan mengacu pada kontaminasi yang tidak diinginkan terhadap lingkungan oleh pembuatan atau penggunaan komoditas.[7] Dalam artian tertentu, pencemaran lingkungan merupakan salah satu jenis yang dapat menyusutkan sumber daya karena disebabkan oleh pencemaran air, udara, atau tanah yang merusak sifat-sifat menguntungkan dari sumber daya tersebut.
Mengendalikan pencemaran lingkungan merupakan tantangan besar dalam bisnis kontemporer. Walaupun polusi saat ini semakin menarik kepedulian masyarakat seperti pencemaran udara, air, dan tanah tetap menjadi masalah terbesar yang perlu dicari penyelesaiannya baik oleh pemerintah maupun dunia usaha.[8]
Berikut permasalahan pencemaran lingkungan dan usaha yang dilakukan untuk menanggulangi pencemaran lingkungan:
1.      Polusi udara, polusi ini timbul apabila beberapa unsur bergabung bersama dan menurunkan kualitas udara. Seperti : asap-asap berbahan kimia yang dikeluarkan pabrik, karbon monoksida yang dikeluarkan oleh mobil-mobil dan kendaraan lainya yang dapat menimbulkan polusi udara. Sehingga para pelaku bisnis harus menyediakan alat khusus yang digunakan untuk mambatasi jumlah polutan yang mencemari udara. Polusi udara meliputi:
·         Pemanasan Global
Gas-gas seperti karbon dioksida, nitrogen oksida, metana, dan klorofluorokarbon adalah gas-gas yang menyerap dan menahan panas dari matahari, dan mencegahnya kembali ke ruang angkasa sehingga suhu permukaan bumi menjadi naik, seperti rumah kaca yang menyerap dan menahan panas matahari.[9] Penyebabnya diantaranya adalah karena pembakaran produk-produk minyak bumi dan batu bara. Hal ini akan berdampak negatif yaitu memperluas padang pasir, melelehnya lapisan es di kutub serta meningkatkan permukaan air laut.
Untuk mengurangi terjadinya pemanasan global perlu adanya penghematan energi. Manusia sebagai pelaku bisnis telah mengantisipasi hal tersebut, dan mereka mulai menciptakan hal baru seperti memproduksi barang-barang elektronik dengan terobosan-terobosan baru, seperti membuat produk yang ramah lingkungan serta menggunakan konsumsi energi yang lebih sedikit. Contohnya, sekarang ini bermunculan netbook dengan menggunakan prosesor intel atom yang hemat energi sampai mouse yang bertenaga surya.
·         Perusakan Lapisan Ozon
Penyusutan lapisan gas ozon secara bertahap di stratosfer yang disebabkan oleh pelepasan gas klorofluorokarbon (CFC) ke udara. Ozon di lapisan stratosfer bagian bawah berfungsi melindungi semua kehidupan bumi dari radiasi ultraviolet yang berbahaya. Namun lapisan ozon ini hancur oleh gas CFC yang biasa dipakai dalam kaleng aerosol, kulkas, AC, bahan pelarut, dan mesin industri.[10]
Untuk mengatasi perusakan lapisan ozon salah satunya yaitu manusia harus memelihara hutan dan tidak lagi menebang hutan secara liar.
·         Hujan Asam
Asam dari emisi industri bergabung dengan air hujan, yang nantinya akan masuk ke dalam tanah, danau ataupun sungai. Tentunya hal ini dapat meng­akibatkan kerusakan hutan, merusak gedung, dan bahkan bisa menghancur-kan logam-logam beracun karena derajat keasamannya.
Cara untuk mengatasi hujan asam ini salah satunya yaitu dengan memasang filter polusi di setiap pabrik.
2.      Polusi air, Seringkali perusahaan membuang limbahnya ke sungai di sekitarnya, tanpa terlebih dahulu mengolahnya menjadi tak beracun. Akibatnya air sungai menjadi tercemar sehingga tidak layak dipakai, ikan-ikan menjadi mati, bahkan limbah tersebut merembes ke air tanah mengakibatkan air tanah tidak layak untuk dikonsumsi, dan tentu hal ini dapat membahayakan kesehatan masyarakat. Apabila hal ini dibiarkan terus terjadi akan mengakibatkan banyak timbulnya masalah yang akan merugikan manusia dan kehidupan ekosistem.
Cara mengatasi polusi air salah satunya dengan membuang limbah industri pada tempat yang khusus agar tidak mencemari air dan lingkungan sekitar.
3.      Polusi tanah, kontaminasi akibat bahan-bahan kimia dan kurangnya kesuburan tanah menjadi salah satu dampak akibat dari pembuangan limbah secara sembarangan.
Cara mengatasi polusi tanah ini sama dengan mengatasi polusi air yaitu tidak membuang limbah pabrik secara sembarangan yang dapat merusak kesuburan tanah, sebaiknya limbah pabrik dibuang pada tempat yang khusus dan tidak mengganggu kelestarian lingkungan.

Pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi demi kesejahteraan umat manusia terkadang tanpa disertai dengan wawasan lingkungan yang benar dan kesadaran yang cukup dalam memanfaatkan sumber daya alam, hal tersebut tentu akan menyebabkan kemerosotan mutu lingkungan.
Dalam proses produksi misalnya diperlukan proses produksi yang efisien dan ramah lingkungan. Kerusakan lingkungan yang diakibatkan dari pembuangan limbah produksi ke sungai-sungai menyebabkan polusi udara, air dan tanah semakin meningkat dan merusak kehidupan ekosistem yang ada. Perusahaan hendaknya memperhatikan limbah yang dihasilkan. Jadi pada dasarnya manusia sebagai pelaku bisnis harus memiliki komitmen moral untuk menciptakan solidaritas kemanusiaan agar lebih peduli terhadap penciptaan keharmonisan hidup sesama manusia dengan lingkungannya secara serasi dan seimbang.

























BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan

1.      Manusia sebagai pelaku bisnis sekaligus menjadi khalifah di bumi, wajib memelihara apa yang ada di alam ini yang berguna untuk kemaslahatan manusia sendiri dan mencegah kerusakan alam yang timbul akibat ulah tangan manusia. Manusia juga tidak boleh mengeksploitasi sumber daya alam secara berlebihan yang dikwatirkan terjadinya kerusakan serta kepunahan sumber daya alam, sehingga tidak memberikan sisa sedikitpun untuk generasi mendatang. Untuk itu Islam mewajibkan agar manusia menjadi pelaku aktif dalam mengolah lingkungan serta melestarikannya.
2.      Mengendalikan pencemaran lingkungan merupakan tantangan besar dalam bisnis kontemporer. Walaupun polusi saat ini semakin menarik kepedulian masyarakat seperti pencemaran udara, air, dan tanah tetap menjadi masalah terbesar yang perlu dicari penyelesaiannya baik oleh pemerintah maupun dunia usaha dan juga perusahaan hendaknya memperhatikan limbah yang dihasilkan. Jadi pada dasarnya manusia sebagai pelaku bisnis harus memiliki komitmen moral untuk menciptakan solidaritas kemanusiaan agar lebih peduli terhadap penciptaan keharmonisan hidup sesama manusia dengan lingkungannya secara serasi dan seimbang.







Daftar Pustaka

Djakfar, Muhammad. Etika Bisnis dalam Perspektif Islam. Malang: UIN Malang Press. 2007.
Griffin, Ricky W.. Ronald J. Ebert, Bisnis, Erlangga, 2006.
Mujahidin, Akhmad, Prof. Dr. H. M.Ag., Ekonomi Islam, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2013.
Rivai, Veithzal, Prof. Dr. H. M.B.A., Ir. H. Andi Buchari, M.M., Islamic Economics, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2009.
Velasquez, Manuel G., Etika Bisnis, ANDI, 2005.




[1] Prof. Dr. H. Akhmad Mujahidin, M.Ag., Ekonomi Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2013), hlm.39.
[2] Prof. Dr. H. Veithzal Rivai, M.B.A., Ir. H. Andi Buchari, M.M., Islamic Economics, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2009), hlm. 28.
[3] Muhammad Djakfar, Etika Bisnis dalam Perspektif Islam, (Malang: UIN Malang Press. 2007), hlm. 148.
[4] Ibid.
[5] Ibid, hlm. 151.
[6] Prof. Dr. H. Akhmad Mujahidin, M.Ag., Op.Cit, hlm.44.
[7] Manuel G. Velasquez, Etika Bisnis, Konsep dan Kasus, (ANDI, 2005), hlm. 253.
[8] Ricky W. Griffin. Ronald J. Ebert, Bisnis, (Erlangga, 2006), hlm. 73.
[9] Manuel G. Velasquez, Op.Cit, hlm. 253.
[10] Manuel G. Velasquez, Op.Cit, hlm. 254-255.