Friday 5 February 2016

Paham Mu'tazilah

BAB I
PENDAHULUAN

1.1   Latar Belakang Masalah
Berbicara perpecahan umat Islam tidak ada habis-habisnya, karena terus menerus terjadi perpecahan mulai dengan munculnya khowarij dan syiah kemudian munculah satu kelompok lain yang berkedok dan berlindung dibawah syiar akal dan kebebasan berfikir. Satu syiar yang menipu dan mengelabui orang-orang yang tidak mengerti bagaimana Islam telah menempatkan akal pada porsi yang benar.sehingga banyak kaum muslimin yang terpuruk dan terjerumus masuk pemikiran kelompok ini. Akhirnya terpecahlah dan berpalinglah kaum muslimin dari agamanya yang telah diajarkan Rasulullah dan para sahabat-sahabatnya.Akibat dari hal itu munculah bid’ah-bid’ah yang semakin banyak dikalangan kaum muslimin sehingga melemahkan kekuatan dan kesatuan mereka serta memberikan gambaran yang tidak benar terhadap ajaran Islam, bahkan dalam kelompok ini terdapat hal-hal yang sangat berbahaya bagi Islam yaitu mereka lebih mendahulukan akal. Oleh karena itu pemakalah akan membahas tentang Pemikiran Teologi Mu’tazilah.

1.2  Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian Mu’tazilah dan bagaimana asal usulnya?
2.      Apa saja konsensus dari Mu’tazilah?
3.      Siapa saja tokoh-tokoh Mu’tazilah?
4.      Apa saja prinsip-prinsip Mu’tazilah?
5.      Apayang dimaksud dengan al-mihnah dan bagaimana perkembangannya?







BAB II
PEMBAHASAN


2.1 Pengertian Dan Asal Usul Aliran Mu’tazilah
Aliran mu’tazilah lahir pada masa pemerintahan Bani Umayah, yakni pada masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan dan anaknya Hisyam. Mu’tazilah berasal dari kata kerja yakni I’tazala-Ya’tazilu yang berarti memisahkan diri atau menjauhi atau menyisihkan diri[1]. Meraka adalah pengikut dari Washil bin Atha yang memisahkan diri dari gurunya yang bernama Hasan al-Basri. Ada sebagian pendapat bahwa aliran Mu’tazilah muncul sejak zaman sahabat, mereka adalah golongan pengikut Ali yang memisahkan diri dari politik terutama disaat turunnya Hasan Ali bin Abi Thalib dari kursi khalifah.Kelompok ini kemudian memusatkan diri kepada persoalan-persoalan teologi. Maka dari itu ada sebagian pendapat yang beranggapan bahwa golongan mutallimin pertama adalah Mu’tazilah sebab mereka inilah yang mula-mula mengadakan diskusi dalam agama secara filsafati.
Masalah pertama yang menjadikan mereka berpisah dari Hasan ialah masalah “murtakibil kabirah” yakni memperbincangkan kedudukan orang yang melakukan dosa besar. Persoalan ini muncul pada saat seseorang bernama Wasil bin Atha yang selalu mengikuti pengajian-pengajian Hasan al-Basri di masjid Basrah[2]. Di dalam kesempatan ini Washil berpendapat bahwa orang yang melakukan dosa besar adalah fasik, yakni suatu posisi yang berada diantara dua keadaan maksudnya orang itu tidak mukmin juga tidak kafir.
      Dalam kaitan ini dijelaskan pula bahwa pada suatu ketika ada seorang muridmendatangi pengajian itu dan bertanya kepada Hasal al-Basri.Bagaimana pendapat Anda, wahai guru kami, tentang orang yang melakukan dosa besar? Sebab, sebagaimana diketahui kaum al-Khawarij memandang pembuat dosa besar itu kafir, sedangkan kaum al-Murji’ah memandang mereka tetap mukmin. Ketika Hasan al-Bashri sedang berpikir, Washil bin Atha mengeluarkan pendapatnya sendiri dan mengatakan: “Saya berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah mukmin dan bukan kafir.”[3]
Karena pendapat ini ia pun mengasingkan diri dan mengadakan tempat sendiri untuk mengajar pengikut-pengikutnya. Oleh karena pengasingan ini dan berpisah dari golongan sang guru serta mengadakan jamaah sendiri, maka ia pun dinamakan “mu’tazili” dan alirannya dinamakan mu’tazilah.
Dalam kesempatan itulah Washil kemudian memisahkan diri dari gurunya, oleh sebab itu Hasan Basri kemudian berkata “I’tazala ‘annawashil”, artinya Washil telah memisahkan diri dari kita.Menurut kaum Mu’tazilah sumber pengatahuan yang paling utama adalah akal, sedangkan wahyu berfungsi mendukung kebenaran akal.Menurut mereka apabila terjadi pertentangan antara ketetapan akal dan ketentuan wahyu maka yang diutamakan adalah ketetapan akal.
      Panggilan atau nama yang mereka pilih itu yakni Ahli keadilan disebabkan mereka memberi hak asasi bagi setiap manusia untuk menerima atau menafsirkan eksistensi dari sifat-sifat Allah maka tidak terdapat paksaan dari Allah bahkan manusia memiliki kekuasaan Qodrat untuk meletakkan pilihannya dalam hidup ini. Hal ini dianggap satu keadilan dimana manusia tidak dipaksa bahkan diberi kekuasaan.[4]
      Menurut Hanafi aliran Mu’tazilah adalah aliran aqidah islam yang terbesar dan tertua, serta telah memainkan peranan penting dalam sejarah pemikiran dunia islam. Pada mulanya aliran ini mempunyai dua cabang yaitu:
1.      Di Basrah, yang dipimpin oleh Washil bin Atha’ dan Amr bin Ubaid.
2.      Di Bagdad, yang dipimpin oleh Basyar bin Al-Mu’tamar.

Banyak khalifah yang menganut faham Mu’tazilah ini atau setidak-tidaknya menyokongnya, diantaranya ialah :
1.      Yazid bin Wahid Bani Umayah
2.      Ma’mun bin Harun al Rasyid Bani Abbas
3.      Al Mu’tashim bin Harun Al-Rasyid
4.      Al Watsiq bin Al Mu’tashim
2.2 Konsensus Al-Mu’tazilah
Dalam alur pikirnya, golongan al-Mu’tazilah berpegang kepada lima ajaran pokok yang disebut al-ushul al-khamsah. Menurut Abu al-Hasan al-Khayyat dalam kitab al-intisar, seperti dikutip oleh Abu Zahrah, seseorang tak dapat deisebut beraliran al-Mu’tazilah kecuali bila telah berpedoman sepenuhnya kepada ilmu ajaran pokok itu.[5]
Konsekuensi logis dari lima pokok itu adalah timbulnya pemikiran lebih lanjut yang bisa disebut dengan konsensus al-Mu’tazilah, konsensus mereka adalah:
1.      Meniadakan sifat Allah, yang tujuan utamanya adalah memurnikan tauhid (ke-Esa-an) Allah.
2.      Bahwa Kalam Allah (Al-Qur’an itu adalah makhluk (ciptaan) Allah, yang tujuannya adalalah menyucikan Allah secara murni bahwa tiada sesuatu yang qadim salain Allah.
3.      Bahwa perbuatan manusia adalah ciptaan mereka sendiri dan perilaku binatang itu di luar tanggung jawab Allah, yang berarti bahwa perilaku binatang itu tidak termasuk perbuatan Allah, meskipun hal itu tetap ciptaan dan kekuasaan-Nya. Dengan demikian, manusia bebas menentukan perbuatannya dan bertanggunf jawab sepenuhnya atas perbuatannya itu.
4.      Orang fasiq (orang mukmin yang berbuat dosa besar) di akhirat berada di antara dua posisi (mukmin dan kafir), kecuali bila ia telah bertaubat.
5.      Adanya sejumlah kewajiban yang dibebankan kepada manusia meskipun belum ada perintah dari Allah, seperti berpikir, mengambil kesimpulan, dan mensyukuri nikmat karena hal-hal itu dengan kekuatan pemberian Allah, mampu dilaksanakan oleh manusia.
6.      Tidak ada keistimewaan bagi Rasulullah SAW yang melebihi nabi-nabi yang lain, seperti syafa’at dan mi’raj.[6]



Dari enam konsensus al-Mu’tazilah tersebut dapat dipahami bahwa mereka seperti halnya aliran-aliran lain dalam Ilmu Kalam, ingin memurnikan tauhid (ke-Esa-an) Allah semurni-murninya dan meniadakan Pencipta selain Allah.

2.3 Tokoh-Tokoh Mu’tazilah
1.      Aliran Bashrah
a.      Washil bin atha’ (80-131 H)
Washil bin atha’di lahirkan di madinah dan mendapatkan pendidikan dasar agama di sana, kemudian ia pindah ke Basrah untuk belajar. Di sana ia berguru kepada seorang ulama masyur, yaitu Hasan al-Bashri. Washil bin atha’ temasuk murid yang pandai,cerdas, tekun belajar. Ia berani mengeluarkan pendapat yang berbeda sehingga ia bersama pengikutnya di namakan golongan di namakan mu’tazillah. Pemikirannya adalah diantaranya seorang muslim yang berbuat doosa besar dihukumi tidak mukmin dan tidak pula kafir, tetapi fasik dan keberadan orang tersebut diantaranya mukmin dan kafir.
Washil adalah orang yang pertama membina aliran al-Mu’tazilah. Ajaran-ajaran Washil dapat disimpulkan sebagai berikut:
a)      Paham nafy al-sifat. Washi berpendapat bahwa Allah tidak mempunyai sifat karena apabila Allah mempunyai sifat, sifat tersebut bersifat qadim, ini berarti Allahtidak Esa lagi.
b)      Paham al-Qadariyah. Paham ini oleh Washil diperoleh dari Ma’bad al-Juhani dan Ghailan yang menyatakan bahwa manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
c)      Paham al-manzilah bain al-manzilatain, yaitu mencari jalan tengah bagi orang-orang yang berbuat dosa besar.
d)     Washil berpendapat bahwa bai’at Abu Bakar itu adalah sah, pembunuhan Ustman adalah merupakan kekeliruan. Golongan yang terlibat dalam peperangan Shiffin melawan Ali telah melakukan dosa besar, dalam hal ini al-Mu’tazilah membela Ali. Dari sinilah timbul pernyataan bahwa diperbolehkan membunuh orang-orang yang fasik, sekalipun ia seorang sahabat.[7]

b.      Amr bin Ubaid (Wafat 143 H)
Amr adalah salah satu dari pemuka al-Mu’tazilah yang pertama.Ia adalah ipar dari Washil. Amr memandang bahwa semua golongan yang terlibat dalam perang Jamal tidak dapat dinyatakan pihak mana yang bersalah, tetapi mesti ada yang bersalah.

c.       Abu Huzail al-Allaf (Wafat 235 H)
Ia adalah pemimpin al-Mu’tazilah pada zamannya. Ia hidup di masa kejayaan dinasti Bani Abbas dan menjadi guru Khalifah al-Ma’mun. ia telah mempelajari filsafat Yunani dan mengislamkan beberapa ajaran asing tersebut.

d.      Al-Nazzam (Wafat 231 H)
Nama lengkapnya adalah Ibrahim bin Sayyar bin Hani An-Nazham. Ia adalah murid Abu Huzail yang terkenal cerdik dan rasional. Al-Nazzam berpendapat bahwa “praduga terhadap sesuatu yang meragukan adalah pengetahuan.” Al-Nazzam tidak percaya akan takhayul dan pesimisme karena ia selalu mempergunakan pikiran yang tenang dan akalnya.
Al-Nazzam tidak segan-segan mengkritik dan mencela para sahabat. Dengan pengagungannya pada pikiran itu, ia sedikit sekali mempercayai hadis, tetapi kuat kepercayaannya pada Al-Qur’an.

e.       Al-Jahiz (Wafat 256 H)
Nama lengkapnya adalah Amr bin Bakr Abu Utsman al-Jahiz. Ia adalah murid al-Nazzam, ia juga seorang sastrawan, ahli teologi, ilmu kalam, filsafat asing, ahli geografi, dan ilmu jiwa.dengan penguasaannya terhadap berbagai cabang ilmu, ia pandai berkhutbah dan telah menjadi seorang pembela al-Mu’tazilah yang tangguh.
Pendapat al-Jahiz terkenal dalam masalah perbuatan dan pengetahuan manusia. Dalam hal perbuatan, manusia mempunyai kemampuan menciptakan perbuatannya sendiri, sedangkan pengetahuan bukanlah bagian dari perbuatan manusia karena pengetahuan itu lahir dari indra penalaran.

f.       Al-Jubba’i (Wafat 303 H)
Pendapat Al-Jubba’i yang terkenal adalah pengingkarannya terhadap sifat Allah karena menurutnya Allah mengetahui, berkuasa, dan hidup melalui esensinya.Kewajiban akal adalah mengetahui yang baik dan buruk, walaupun tanpa bantuan wahyu.Tentang kalam Allah, dikatakan bahwa Allah itu menciptakan kalam, bukan Allah berbicara.

2.      Aliran Baghdad
Al-Ma’mun (Khalifah Bani Abbas 813-833 M) berpengetahuan luas, memilih aliran al-Mu’tazilah yang rasional dan liberal.Corak pemikiran al-Mu’tazilah aliran Baghdad lebih berorientasi kepada masalah praktis karena lebih dekat dengan penguasa, sedangkan aliran Bashrah lebih diwrnai corak pemikiran semata. Al-Ma’mun mendukung benar kepercayaan al-Mu’tazilah terhadap khalq Al-Qur’an, ia menyetujui mengadakan al-mihnah di kalangan para ulama. Kebijaksanaan al-Ma’mun ini diteruskan oleh khalifah-khalifah sesudahnya hingga masa Khalifah al-Mutawakkil yang memberhentikan al-mihnah dan meninggalkan al-Mu’tazilah untuk seterusnya.

a)      Bisyr bin al-Mu’tamar (Wafat 210 H)
Pendapat yang penting adalah berkenaan dengan pertanggungjawaban perbuatan manusia. Perbuatan anak kecil menurutnya tidak akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah.tentang perbuatan dosa besar, apabila seseorang berbuat dosa kemudian mengulangi lagi perbuatannya tersebut maka orang itu akan mendapat siksa, termasuk perbuatan dosa besar yang terdahulu, sekalipun dulu ia telah bertaubat. Bila ia tidak mengulangi perbuatannya, taubatnya itu dapat menghapus dosanya.

b)     Abu Musa al-Murdar (Wafat 226 H)
Pemimpin aliran Baghdad yang sangat ekstrem adalah Abu Musa al-Murdar karena pendapatnya yang mudah mengkafirkan orang.Ia menyatakan bahwa orang yang mengatakan Allah dapat dilihat dengan mata kepala adalah kafir, demikian pula bagi orang yang berpendapat bahwa perbuatan manusia itu diciptakan oleh Allah. Orang yang memberikan sifat kepada Allah seperti makhluknya, dan juga orang yang memandang bahwa manusia itu terpaksa dalam melakukan perbuatannya, semuanya adalah kafir.

c)      Sumamah bin al-Asyras (Wafat 213 H)
Ia telah berjasa dalam menyebarkan paham-paham al-Mu’tazilah. Sumamah mempunyai pengaruh yang besar terhadap al-Ma’mun karena pendapat-pendapatnya, sehingga khalifah menuruti dan melaksanakan segala yang diusulkannya.Ia berpendapat lain tentang orang fasik, ia menganggap bahwa di neraka orang fasik akan didera apabila bertaubat.

d)        Ahmad bin Abi Du’ad (Wafat 240 H)
Dia adalah seorang yang berpendirian kuat. Dari dia lah para khalifah menyetujui diadakannya al-mihnah khalq Al-Qur’an, yang kemudian telah membawa bencana bagi al-Mu’tazilah itu sendiri.

2.4 Prinsip-Prinsip Aliran Mu’taziah
1.      Tauhid (Keesaan Tuhan)
At-Tauhid (kemahaesaan tuhan) merupakan ajaran dasar terpenting bagi kaum Mu’tazilah. Bagi mereka, Tuhan dikatakan Maha Esa jika ia merupakan zat yang unik, tiada sesuatu yang serupa dengan dia. Oleh karena itu, mu’tazilah menolak paham anthropomorphisme/al-tajassubertanganm, yaitu paham yang menggambarkan Tuhan menyerupai makhluk-Nya. Misalnya, tuhan bertangan dan sebagainya.
Mereka juga menolak paham beatific vision, yaitu pandangan bahwa tuhan dapat dilihat di akhirat nanti (dengan mata kepala).Satu-satunya sifat tuhan yang betul-betul tidak mungkin ada pada makhluknya adalah sifat qadim.Paham ini mendorong mu’tazilah untuk meniadakan sifat-sifat tuhan yang mempunyai wujud sendiri di luar dzat Tuhan.Mu’tazilah menolak paham ini karena tuhan bersifat immateri, sedangkan mata kepala bersifat materi, yang immateri hanya dapat diterima oleh yang immateri pula.Oleh karena itu, mu’tazilah berpendapat tuhan memang dapat dilihat di akhirat, tetapi bukan dengan mata kepala melainkan dengan mata hati.
Selanjutnya, mu’tazilah berpendapat bahwa hanya dzat tuhan yang bersifat qadim. Paham ini mendorong mu’tazilah untuk meniadakan sifat-sifat tuhan yang mempunyai wujud tersendiri terpisah dari dzatnya.Apa yang oleh golongan lain disebut sifat tuhan, seperti maha mengetahui, maha kuasa, oleh mu’tazilah sifat tersebut disebut esensi tuhan.
Paham keesaan tuhan mu’tazilah ini bermaksud untuk mensuciikan dzat tuhan dari persaman dengan makhluknya.Dalam paham ini tampak betapa kuat pengaruh akal dalam pemikiran yang di bangun kaum mu’tazilah itu dan ini menjadi salah satu indikasi bahwa mu’tazilah layak di sebut sebagai kaum rasional.

2.      Al-Adl (Keadilan Tuhan)
Al-adl merupakan kelanjutan dari ajaran at-tauhid.Jika ajaran pertama mu’tazilah ingin mensucikan Tuhan dari persamaan dengan makhluk-Nya, ajaran kedua ini mereka ingin mensucikan Tuhan dari perbuatan makhluk.Hanya tuhan yang berbuat seadil-adilnya.Tuhan tidak mungkin berbuat zhalim.
Paham keadilan yang dikehendaki Mu’tazilah menyatakan bahwa Tuhan tidak menghendaki keburukan, tidak menciptakan perbuatan manusia, manusia dapat mengerjakan perintah-perintahnya dan meninggalkan ajaran-ajaran-Nya dengan kekuasaan yang ditetapkan Tuhan pada diri manusia itu.
Semua perbuatan Tuhan bersifat baik. Tuhan dalam paham Mu’tazilah tidak mau berbuat buruk, bahkan menurut salah satu sekte mu’tazilah, Tuhan tidak bias berbuat buruk karena perbuatan yang demikian hanya dilakukan oleh orang yang tidak sempurna sedangkan Tuhan Maha Sempurna.
Selanjutnya, masalah keadilan Tuhan ini mendorong timbulnya masalah perbuatan manusia apakah perbuatan manusia itu diwujudkan oleh Tuhan atau oleh manusia sendiri?.Dalam pandangan mu’tazilah yang menganut paham qadariyah, perbuatan manusia diwujudkan oleh manusia sendiri.Tuhan dikatakan adil jika menghukum orang yang berbuat buruk atas kemauannya sendiri.

3.      Al-Wa’du wal wa’id (Janji dan Ancaman)
Mu’tazilah yakin bahwa Tuhan pasti akan memberikan pahala dan siksa kepada manusia di akhirat. Orang yang melakukan kebaikan berhak mendapat pahala, sedangkan orang yang melakukan keburukan berhak mendapat siksa dan ini pasti terjadi. Tuhan tidak dapat berbuat lain kecuali melaksanakan janji-Nya.
Sebagai realisasi dari janji-Nya itu Mu’tazilah berpendapat, tidak ada pengampunan bagi orang yang berbuat dosa besar tanpa tobat, sebagaimana tidak mungkin orang yang berbuat baik dihalang-halangi menerima pahala. Dalam hal ini mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan tidak disebut adil jika ia tidak memberi pahala kepada orang yang berbuat baik atau tidak menghukum orang yang berbuat buruk. Mu’tazilah mengingkari adanya syafaat dihari kiamat, syafaat bertentangan dengan prinsip janji dan ancaman.

4.      Manzilah bainal Manzilatain (Tempat diantara dua tempat)
Ajaran keempat yang disebut posisi tengah menurut Mu’tazilah maksudnya tempat diantara surge dan neraka.ajaran ini dinilai sangat penting.Dengan ajaran ini, Washil rela memisahkan diri dari gurunya. Menurut Washil, pelaku dosa besar juga orang musyrik tidak mukmin dan tidak kafir pula tatapi fasik. Kefasikan ini berada diantara beriman dan kafir.
Prinsip jalan tengah yang dipegag Mu,tazialah diambil dari Al-qur’an dan Hadits. Ayat al-qur’an yang dimaksud surat al-isra’ ayat 110, dalil-dalil hadistnya ialah yang artinya Sebaik-baik perkara adalah yang tengah-tengah.

5.      Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar (perintah berbuat baik dan larangan berbuat jahat)
Ajaran yang terakhir ini secara prinsip tidak berbeda dari pendapat golongan lainnya.Perbedaanya hanya pada pelaksanaannya, apakah seruan berbuat baik dan larangan berbuat buruk itu dalakukan dengan lunak atau dengan kekerasan.Mu’tazilah berpendapat bahwa amar ma’ruf nahi munkar sebaiknya dilakukan dengan lemah lembut, walaupun sewaktu-waktu jika diperlukan bisa dengan kekerasan.Sejarah membuktikan bahwa mereka pernah memakai kekerasan dalam menyiarkan ajaran-ajaran mereka.Bagi kaum Mu’tazialh, orang-orang yang menyalahi pendirian mereka dipandang sesat dan harus diluruskan.
Kekerasan yang mereka lakukan dalam menyebarluaskan ajaran mereka seperti kebijaksanaan al-mihnahmembuat al-Mu’tazilah tidak disukai sehingga merugikan bagi al-Mu’tazilah sendiri.Aliran ini tenggelam dan hanya tercatat dalam sejarah.Namun di awal abad kedua puluh, perhatian terhadap aliran ini mulai muncul, terutama di kalangan kaum intelektual.[8]

2.5     Al-mihnah  dan Perkembangannya
Kata al-Mihnah menurut bahasa berarti ikhtibar, yaitu pengujian. Dari sudut perkembangan pemikiran islam, al-mihnah diartikan dengan pengujian keyakinan para ahli fiqh dan ahli hadits tentang kemakhlukan Al-Qur’an serta sanksi hukum yang harus mereka terima sehubungan dengan keyakinan mereka tersebut.[9]
Paham Al-Qur’an adalah makhluk merupakan konsekuensi dari paham tauhid.Tuhan betul-betul Maha Esa.Dia adalah qadim, tidak ada yang qadim selain Dia. Hal itu menimbulkan pemikiran bahwa yang qadim lebih dari satu, mka tidak mencerminkan tauhid dalam pandangan al-Mu’tazilah karena terjadinya ta’addud al-qudama.Oleh sebab itu, al-Mu’tazilah mengatakan Al-Qur’an itu makhluk. Al-Qur’an yang dimaksud di sini adalah Al-qur’an yang dibaca, yang terdiri dari huruf dan suara yang dapat didengar.
Al-mihnah dilaksanakan karena adanya paham yang menyebutkan bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah dan ia qadim, sedangkan paham al-Mu’tazilah mengatakan bahwa Al-Qur’an itu tidak qadim. Dari keyakinan inilah menimbulkan inisiatif untuk memelihara dan mengembalikan keyakinan umat yang sudah bercampur syirik kepada tauhid.Jalan yang ditempuhnya itu adalah al-mihnah. Ini merupakan konsekuensi dari ajaran amar ma’ruf nahi munkar. Setiap orang wajib melaksanakan ajaran tersebut sesuai dengan kemampuan yang ia miliki. Oleh sebab itu, al-Ma’mun mempergunakan kekuasaannya untuk melaksanakan ajaran ini.
Langkah awal yang dilaksanakan al-Ma’mun dalam pengujian ini adalah mengumumkan secara resmi kepada umat Islam bahwa Al-Qur’an ialah makhluk. Enam tahun sebelum kebijaksanaan al-mihnah  itu dilaksanakan, al-Ma’mun merencanakan untuk memasyarakatkan paham khalqAl-Qur’an, tetapi dikhawatirkan terjadi perpecahan dan kekacauan di dalam masyarakat, akhirnya rencana itu diurungkan karena atas pertimbangan Yahya binAksam, qadhi al-qudhat pada masa itu. Setelah jabatan qadhi al-qudhat diganti dengan Ahmad bin Ab Du’ad, rencana pengujian itu dilaksanakan oleh khalifah berdasarkan usulan Ahmad bin Abi Du’ad. Pada tahun terakhir kekhalifahan al-Ma’mun, ia mengeluarkan perintah al-mihnah bagi para hakim, saksi, ahli fiqh, dan ahli hadits serta tokoh masyarakat lainnya.
Sebelum meninggal, al-Ma’mun menulis surat wasiat kepada penggantinya yaitu al-Mu’tasim agar melanjutkan pendidikan tentang Al-Qur’an dan melibatkan Ahmad bin Du’ad dalam permusyawaratan segala masalah. Dalam melaksanakan wasiat ini, al-Mu’tasim melakukan al-mihnah lebih kejam kepada para ulama bahkan sebagian ada yang dibunuh, seperti Ahmad bin Hanbal dicambuk dan dipenjarakan karena tetap menolak paham khalq Al-Qur’an dan dia menerim siksaan al-Mu’tasim dengan tabah.
Sekitar tujuh tahun setelah al-mihnah dilaksanakan, al-Mu’tasim meninggal pada tahun 227 H. Ia digantikan oleh al-Wasiq. Al-Wasiq adalah seorang alim yang berwawasan luas. Ia sangat tegas menghukum orang yang menolak paham khalq Al-Qur’an. Dalam melaksanakan al-Mihnah, ia membunuh Ahmad bin Nasr tetapi ia tidak berani membunuh Ahmad bin Hanbal karena Ahmad bin Hanbal mempunyai pengaruh yang besar di kalangan fuqaha. Ahmad bin Hanbal hanya dibebaskan untuk meninggalkan Baghdad.
Setelah al-Wasiq wafat, jabatan khalifah dipegang oleh al-Mutawakil. Pada masanya al-mihnah hanya berlangsung 2 tahun dan kemudian dihapuskan. Al-Mutawakil menghapus al-mihnah dengan mengedarkan pengumuman pemberhentiannya ke seluruh wilayah dan melarang masyarakat menyatakan khalq Al-Qur’an serta mengancam mereka yang mempermasalahkannya. Ini disebabkan adanya pertimbangan umum bahwa mayoritas masyarakat tidak menyukai Al-Mu’tazilah dengan segala kekejamannya.
Peristiwa ini merugikan al-Mu’tazilah karena kedudukan al-Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara terpaksa dibatalkan. Apalagi setelah al-Mutawakil menunjuk sikap hormat dan menghargai Ahmad bin Hanbal, lawan al-Mu’tazilah saat itu. Ketika paham al-Mu’tazilah mulai melemah, munculah Imam Abu Hasan al-Asy’ari tampil dengan ajaran kalamnya menentang al-Mutazilah dan aliran yang dibangun adalah Ahl al-Sunnah wa al-jama’ah. Yang berhasil menenggelamkan paham al-Mu’tazilah.
Kaum al-Mu’tazilah tidak banyak berpegang kepada sunnah atau tradisi, bukan karena mereka tidak percaya kepada tradisi Nabi dan sahabat, tetapi mereka ragu akan keoriginal hadis-hadis yang mengandung tradisi itu. Oleh sebab itu, mereka dapat dipandang sebagai aliran yang tidak berpegang teguh kepada sunnah. Barang kali ini juga salah satu penyebab kemunduran aliran al-Mu’tazilah sehingga aliran ini banyak dikenal. Namun, bukan berarti pemikiran rasional hilang sama sekali.
BAB III
PENUTUP

3.1    Kesimpulan
Mu’tazilah berasal dari kata kerja yakni ‘azala artinya berpisah. Maka Mu’tazilah itu berarti memisahkan diri. Aliran mu’tazilah lahir pada masa pemerintahan Bani Umayah, yakni pada masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan dan anaknya Hisyam. Meraka adalah pengikut dari Abul Husail Washil bin Atha yang memisahkan diri dari gurunya yang bernama Hasan Basri.
Washil memisahkan diri dari guruya yakni Hasan Basri karena berbeda pendapat mengenai orang beriman yang melakukan dosa besar.Menurut Washil orang tersebut tidak mukmin dan juga tidak kafir, melainkan fasik. Mereka akan ditempatkan diantara surga dan neraka.
Ada lima prinsip yang dipegang oleh Mu’tazilah, yakni:
a.       Tauhid
b.      Keadilan Tuhan
c.       Al-Wa’du wal wa’id (Janji dan Ancaman)
d.      Manzilah bainal Manzilatain (Tempat diantara dua tempat)
e.       Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar (perintah berbuat baik dan larangan berbuat jahat)
Al-Mutazilah redup dan runtuh akibat pahamnya sendiri dan simpati umat berkurang dan benci terhadap mereka atas kebijakan al-mihnah. Itu terjadi ketika pemerintahan khalifah Al-Mutawakil memimpin, status paham al-Mu’tazilah di sebagai aliran resmi Negara di batalkan dan dilarang dan peristiwa al-mihnah dihentikan. Ketika paham itu lemah munculah Imam Abu Hasan al-Asy’ari tampil dengan ajaran kalamnya menentang al-Mutazilah dan aliran yang dibangun adalah Ahl al-Sunnah wa al-jama’ah. Yang berhasil meneggelamkan paham al-Mu’tazilah.



DAFTAR PUSTAKA

Avdich, Kamil Y. 1987. Meneropong Doktrin Islam. Bandung : Al-Maarif.
Nurdin, Amin M, 2012, Sejarah Pemikiran Islam. Jakarta: Amzah.
Sudarsono. 2004. Filsafat Islam. Jakarta : PT Rineka Cipta.
Zaini, Syahminan. 1983. Kuliah Aqidah Islam. Surabaya : Al-Ikhlas.



[1]M. Amin Nurdin, 2012, Sejarah Pemikiran Islam, Jakarta: Amzah, hlm. 53
[2]Ibid, hlm. 55
[3]Ibid.
[4] Sudarsono, Filsafat Islam, 2004 (Jakarta: PT Rineka Cipta). Hal 5-6
[5]M. Amin Nurdin, 2012, Sejarah Pemikiran Islam, Jakarta: Amzah, hlm. 58
[6]Ibid. hal. 59
[7]Ibid. hlm. 69
[8]M. Amin Nurdin, 2012, Sejarah Pemikiran Islam, Jakarta: Amzah, hlm. 84
[9]Ibid. hlm. 87

No comments:

Post a Comment