BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Berbicara perpecahan umat Islam tidak ada habis-habisnya,
karena terus menerus terjadi perpecahan mulai dengan munculnya khowarij dan
syiah kemudian munculah satu kelompok lain yang berkedok dan berlindung dibawah
syiar akal dan kebebasan berfikir. Satu syiar yang menipu dan mengelabui
orang-orang yang tidak mengerti bagaimana Islam telah menempatkan akal pada
porsi yang benar.sehingga banyak kaum muslimin yang terpuruk dan terjerumus
masuk pemikiran kelompok ini. Akhirnya terpecahlah dan berpalinglah kaum
muslimin dari agamanya yang telah diajarkan Rasulullah dan para sahabat-sahabatnya.Akibat
dari hal itu munculah bid’ah-bid’ah yang semakin banyak dikalangan kaum
muslimin sehingga melemahkan kekuatan dan kesatuan mereka serta memberikan
gambaran yang tidak benar terhadap ajaran Islam, bahkan dalam kelompok ini
terdapat hal-hal yang sangat berbahaya bagi Islam yaitu mereka lebih
mendahulukan akal. Oleh karena itu pemakalah akan membahas tentang Pemikiran
Teologi Mu’tazilah.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Mu’tazilah dan
bagaimana asal usulnya?
2. Apa saja konsensus dari Mu’tazilah?
3. Siapa saja tokoh-tokoh Mu’tazilah?
4. Apa saja prinsip-prinsip Mu’tazilah?
5. Apayang dimaksud dengan al-mihnah dan bagaimana perkembangannya?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Dan Asal Usul Aliran
Mu’tazilah
Aliran mu’tazilah lahir pada masa
pemerintahan Bani Umayah, yakni pada masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan
dan anaknya Hisyam. Mu’tazilah berasal dari kata kerja yakni I’tazala-Ya’tazilu
yang berarti memisahkan diri atau
menjauhi atau menyisihkan diri[1].
Meraka adalah pengikut dari Washil bin Atha yang memisahkan diri dari gurunya
yang bernama Hasan al-Basri. Ada sebagian pendapat bahwa aliran Mu’tazilah
muncul sejak zaman sahabat, mereka adalah golongan pengikut Ali yang memisahkan
diri dari politik terutama disaat turunnya Hasan Ali bin Abi Thalib dari kursi khalifah.Kelompok ini kemudian
memusatkan diri kepada persoalan-persoalan teologi. Maka dari itu ada sebagian pendapat
yang beranggapan bahwa golongan mutallimin pertama adalah Mu’tazilah sebab mereka
inilah yang mula-mula mengadakan diskusi dalam agama secara filsafati.
Masalah pertama yang menjadikan
mereka berpisah dari Hasan ialah masalah “murtakibil kabirah” yakni
memperbincangkan kedudukan orang yang melakukan dosa besar. Persoalan ini muncul
pada saat seseorang bernama Wasil bin Atha yang selalu mengikuti
pengajian-pengajian Hasan al-Basri di masjid Basrah[2].
Di dalam kesempatan ini Washil berpendapat bahwa orang yang melakukan dosa
besar adalah fasik, yakni suatu posisi yang berada diantara dua keadaan
maksudnya orang itu tidak mukmin juga tidak kafir.
Dalam
kaitan ini dijelaskan pula bahwa pada suatu ketika ada seorang muridmendatangi
pengajian itu dan bertanya kepada Hasal al-Basri.Bagaimana pendapat Anda, wahai
guru kami, tentang orang yang melakukan dosa besar? Sebab,
sebagaimana diketahui kaum al-Khawarij memandang pembuat dosa besar itu kafir,
sedangkan kaum al-Murji’ah memandang mereka tetap mukmin. Ketika Hasan al-Bashri sedang
berpikir, Washil bin Atha mengeluarkan pendapatnya sendiri dan mengatakan:
“Saya berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah mukmin dan bukan
kafir.”[3]
Karena pendapat ini ia pun
mengasingkan diri dan mengadakan tempat sendiri untuk mengajar
pengikut-pengikutnya. Oleh karena pengasingan ini dan berpisah dari golongan
sang guru serta mengadakan jamaah sendiri, maka ia pun dinamakan “mu’tazili”
dan alirannya dinamakan mu’tazilah.
Dalam kesempatan itulah Washil
kemudian memisahkan diri dari gurunya, oleh sebab itu Hasan Basri kemudian
berkata “I’tazala ‘annawashil”, artinya Washil telah memisahkan diri dari
kita.Menurut kaum Mu’tazilah sumber pengatahuan yang paling utama adalah akal,
sedangkan wahyu berfungsi mendukung kebenaran akal.Menurut mereka apabila
terjadi pertentangan antara ketetapan akal dan ketentuan wahyu maka yang diutamakan
adalah ketetapan akal.
Panggilan
atau nama yang mereka pilih itu yakni Ahli keadilan disebabkan mereka memberi
hak asasi bagi setiap manusia untuk menerima atau menafsirkan eksistensi dari
sifat-sifat Allah maka tidak terdapat paksaan dari Allah bahkan manusia
memiliki kekuasaan Qodrat untuk meletakkan pilihannya dalam hidup ini. Hal ini
dianggap satu keadilan dimana manusia tidak dipaksa bahkan diberi kekuasaan.[4]
Menurut
Hanafi aliran Mu’tazilah adalah aliran aqidah islam yang terbesar dan tertua,
serta telah memainkan peranan penting dalam sejarah pemikiran dunia islam. Pada
mulanya aliran ini mempunyai dua cabang yaitu:
1.
Di Basrah, yang dipimpin oleh Washil bin Atha’ dan Amr bin
Ubaid.
2.
Di Bagdad, yang dipimpin oleh Basyar bin Al-Mu’tamar.
Banyak khalifah yang menganut faham Mu’tazilah
ini atau setidak-tidaknya menyokongnya, diantaranya ialah :
1.
Yazid bin Wahid Bani Umayah
2.
Ma’mun bin Harun al Rasyid Bani Abbas
3.
Al Mu’tashim bin Harun Al-Rasyid
4.
Al Watsiq bin Al Mu’tashim
2.2 Konsensus Al-Mu’tazilah
Dalam alur pikirnya, golongan
al-Mu’tazilah berpegang kepada lima ajaran pokok yang disebut al-ushul al-khamsah. Menurut Abu al-Hasan al-Khayyat dalam
kitab al-intisar, seperti dikutip
oleh Abu Zahrah, seseorang tak dapat deisebut beraliran al-Mu’tazilah kecuali
bila telah berpedoman sepenuhnya kepada ilmu ajaran pokok itu.[5]
Konsekuensi
logis dari lima pokok itu adalah timbulnya pemikiran lebih lanjut yang bisa
disebut dengan konsensus al-Mu’tazilah, konsensus mereka adalah:
1.
Meniadakan sifat Allah, yang tujuan utamanya adalah
memurnikan tauhid (ke-Esa-an) Allah.
2.
Bahwa Kalam Allah
(Al-Qur’an itu adalah makhluk (ciptaan) Allah, yang tujuannya adalalah
menyucikan Allah secara murni bahwa tiada sesuatu yang qadim salain Allah.
3.
Bahwa perbuatan manusia adalah ciptaan mereka sendiri dan
perilaku binatang itu di luar tanggung jawab Allah, yang berarti bahwa perilaku
binatang itu tidak termasuk perbuatan Allah, meskipun hal itu tetap ciptaan dan
kekuasaan-Nya. Dengan demikian, manusia bebas menentukan perbuatannya dan
bertanggunf jawab sepenuhnya atas perbuatannya itu.
4.
Orang fasiq (orang
mukmin yang berbuat dosa besar) di akhirat berada di antara dua posisi (mukmin
dan kafir), kecuali bila ia telah bertaubat.
5.
Adanya sejumlah kewajiban yang dibebankan kepada manusia
meskipun belum ada perintah dari Allah, seperti berpikir, mengambil kesimpulan,
dan mensyukuri nikmat karena hal-hal itu dengan kekuatan pemberian Allah, mampu
dilaksanakan oleh manusia.
6.
Tidak ada keistimewaan bagi Rasulullah SAW yang melebihi
nabi-nabi yang lain, seperti syafa’at dan
mi’raj.[6]
Dari enam konsensus al-Mu’tazilah tersebut dapat dipahami
bahwa mereka seperti halnya aliran-aliran lain dalam Ilmu Kalam, ingin
memurnikan tauhid (ke-Esa-an) Allah
semurni-murninya dan meniadakan Pencipta selain Allah.
2.3 Tokoh-Tokoh Mu’tazilah
1.
Aliran Bashrah
a.
Washil bin atha’ (80-131 H)
Washil bin
atha’di lahirkan di madinah dan mendapatkan pendidikan dasar agama di sana,
kemudian ia pindah ke Basrah untuk belajar. Di sana ia berguru kepada seorang
ulama masyur, yaitu Hasan al-Bashri. Washil bin atha’ temasuk murid yang pandai,cerdas,
tekun belajar. Ia berani mengeluarkan pendapat yang berbeda sehingga ia bersama
pengikutnya di namakan golongan di namakan mu’tazillah. Pemikirannya adalah
diantaranya seorang muslim yang berbuat doosa besar dihukumi tidak mukmin dan
tidak pula kafir, tetapi fasik dan keberadan orang tersebut diantaranya mukmin
dan kafir.
Washil
adalah orang yang pertama membina aliran al-Mu’tazilah. Ajaran-ajaran Washil
dapat disimpulkan sebagai berikut:
a) Paham nafy al-sifat. Washi berpendapat bahwa Allah tidak mempunyai sifat
karena apabila Allah mempunyai sifat, sifat tersebut bersifat qadim, ini berarti Allahtidak Esa lagi.
b) Paham al-Qadariyah. Paham ini oleh Washil diperoleh dari Ma’bad al-Juhani
dan Ghailan yang menyatakan bahwa manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan
sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
c) Paham al-manzilah bain al-manzilatain, yaitu mencari jalan tengah bagi
orang-orang yang berbuat dosa besar.
d) Washil berpendapat bahwa bai’at Abu
Bakar itu adalah sah, pembunuhan Ustman adalah merupakan kekeliruan. Golongan
yang terlibat dalam peperangan Shiffin melawan Ali telah melakukan dosa besar,
dalam hal ini al-Mu’tazilah membela Ali. Dari sinilah timbul pernyataan bahwa
diperbolehkan membunuh orang-orang yang fasik, sekalipun ia seorang sahabat.[7]
b.
Amr bin Ubaid (Wafat 143 H)
Amr adalah
salah satu dari pemuka al-Mu’tazilah yang pertama.Ia adalah ipar dari Washil.
Amr memandang bahwa semua golongan yang terlibat dalam perang Jamal tidak dapat
dinyatakan pihak mana yang bersalah, tetapi mesti ada yang bersalah.
c.
Abu Huzail al-Allaf (Wafat 235 H)
Ia adalah pemimpin al-Mu’tazilah
pada zamannya. Ia hidup di masa kejayaan dinasti Bani Abbas dan menjadi guru
Khalifah al-Ma’mun. ia telah mempelajari filsafat Yunani dan mengislamkan
beberapa ajaran asing tersebut.
d.
Al-Nazzam (Wafat 231 H)
Nama lengkapnya
adalah Ibrahim bin Sayyar bin Hani An-Nazham. Ia adalah murid Abu Huzail yang terkenal cerdik dan
rasional. Al-Nazzam berpendapat bahwa “praduga terhadap sesuatu yang meragukan
adalah pengetahuan.” Al-Nazzam tidak percaya akan takhayul dan pesimisme karena
ia selalu mempergunakan pikiran yang tenang dan akalnya.
Al-Nazzam tidak segan-segan
mengkritik dan mencela para sahabat. Dengan pengagungannya pada pikiran itu, ia
sedikit sekali mempercayai hadis, tetapi kuat kepercayaannya pada Al-Qur’an.
e.
Al-Jahiz (Wafat 256 H)
Nama lengkapnya adalah Amr bin Bakr
Abu Utsman al-Jahiz. Ia adalah murid al-Nazzam, ia juga seorang sastrawan, ahli
teologi, ilmu kalam, filsafat asing, ahli geografi, dan ilmu jiwa.dengan
penguasaannya terhadap berbagai cabang ilmu, ia pandai berkhutbah dan telah
menjadi seorang pembela al-Mu’tazilah yang tangguh.
Pendapat al-Jahiz terkenal dalam
masalah perbuatan dan pengetahuan manusia. Dalam hal perbuatan, manusia
mempunyai kemampuan menciptakan perbuatannya sendiri, sedangkan pengetahuan
bukanlah bagian dari perbuatan manusia karena pengetahuan itu lahir dari indra
penalaran.
f.
Al-Jubba’i (Wafat 303 H)
Pendapat Al-Jubba’i yang terkenal
adalah pengingkarannya terhadap sifat Allah karena menurutnya Allah mengetahui,
berkuasa, dan hidup melalui esensinya.Kewajiban akal adalah mengetahui yang
baik dan buruk, walaupun tanpa bantuan wahyu.Tentang kalam Allah, dikatakan
bahwa Allah itu menciptakan kalam, bukan Allah berbicara.
2.
Aliran Baghdad
Al-Ma’mun (Khalifah Bani Abbas
813-833 M) berpengetahuan luas, memilih aliran al-Mu’tazilah yang rasional dan
liberal.Corak pemikiran al-Mu’tazilah aliran Baghdad lebih berorientasi kepada
masalah praktis karena lebih dekat dengan penguasa, sedangkan aliran Bashrah
lebih diwrnai corak pemikiran semata. Al-Ma’mun mendukung benar kepercayaan
al-Mu’tazilah terhadap khalq Al-Qur’an, ia menyetujui mengadakan al-mihnah di kalangan para ulama.
Kebijaksanaan al-Ma’mun ini diteruskan oleh khalifah-khalifah sesudahnya hingga
masa Khalifah al-Mutawakkil yang memberhentikan al-mihnah dan meninggalkan al-Mu’tazilah untuk seterusnya.
a)
Bisyr bin al-Mu’tamar (Wafat 210 H)
Pendapat yang penting adalah
berkenaan dengan pertanggungjawaban perbuatan manusia. Perbuatan anak kecil
menurutnya tidak akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah.tentang perbuatan
dosa besar, apabila seseorang berbuat dosa kemudian mengulangi lagi
perbuatannya tersebut maka orang itu akan mendapat siksa, termasuk perbuatan
dosa besar yang terdahulu, sekalipun dulu ia telah bertaubat. Bila ia tidak
mengulangi perbuatannya, taubatnya itu dapat menghapus dosanya.
b)
Abu Musa al-Murdar (Wafat 226 H)
Pemimpin aliran Baghdad yang sangat
ekstrem adalah Abu Musa al-Murdar karena pendapatnya yang mudah mengkafirkan
orang.Ia menyatakan bahwa orang yang mengatakan Allah dapat dilihat dengan mata kepala adalah kafir,
demikian pula bagi orang yang berpendapat bahwa perbuatan manusia itu
diciptakan oleh Allah. Orang yang memberikan sifat kepada Allah seperti
makhluknya, dan juga orang yang memandang bahwa manusia itu terpaksa dalam
melakukan perbuatannya, semuanya adalah kafir.
c)
Sumamah bin al-Asyras (Wafat 213 H)
Ia telah berjasa dalam menyebarkan
paham-paham al-Mu’tazilah. Sumamah mempunyai pengaruh yang besar terhadap
al-Ma’mun karena pendapat-pendapatnya, sehingga khalifah menuruti dan melaksanakan segala yang diusulkannya.Ia
berpendapat lain tentang orang fasik, ia menganggap bahwa di neraka orang fasik
akan didera apabila bertaubat.
d)
Ahmad bin Abi Du’ad (Wafat 240 H)
Dia adalah
seorang yang berpendirian kuat. Dari dia lah para khalifah menyetujui diadakannya
al-mihnah khalq Al-Qur’an, yang
kemudian telah membawa bencana bagi al-Mu’tazilah itu sendiri.
2.4 Prinsip-Prinsip Aliran Mu’taziah
1.
Tauhid (Keesaan Tuhan)
At-Tauhid (kemahaesaan tuhan) merupakan ajaran dasar
terpenting bagi kaum Mu’tazilah. Bagi mereka, Tuhan dikatakan Maha Esa jika ia
merupakan zat yang unik, tiada sesuatu yang serupa dengan dia. Oleh karena itu,
mu’tazilah menolak paham anthropomorphisme/al-tajassubertanganm,
yaitu paham yang menggambarkan Tuhan menyerupai makhluk-Nya. Misalnya,
tuhan bertangan dan sebagainya.
Mereka juga menolak paham beatific vision, yaitu pandangan bahwa tuhan dapat dilihat di
akhirat nanti (dengan mata kepala).Satu-satunya sifat tuhan yang betul-betul
tidak mungkin ada pada makhluknya adalah sifat qadim.Paham ini mendorong
mu’tazilah untuk meniadakan sifat-sifat tuhan yang mempunyai wujud sendiri di
luar dzat Tuhan.Mu’tazilah menolak paham ini karena tuhan bersifat immateri,
sedangkan mata kepala bersifat materi, yang immateri hanya dapat diterima oleh
yang immateri pula.Oleh karena itu, mu’tazilah berpendapat tuhan memang dapat
dilihat di akhirat, tetapi bukan dengan mata kepala melainkan dengan mata hati.
Selanjutnya, mu’tazilah berpendapat bahwa hanya dzat tuhan
yang bersifat qadim. Paham ini mendorong mu’tazilah untuk meniadakan
sifat-sifat tuhan yang mempunyai wujud tersendiri terpisah dari dzatnya.Apa
yang oleh golongan lain disebut sifat tuhan, seperti maha mengetahui, maha
kuasa, oleh mu’tazilah sifat tersebut disebut esensi tuhan.
Paham keesaan tuhan mu’tazilah ini bermaksud untuk mensuciikan
dzat tuhan dari persaman dengan makhluknya.Dalam paham ini tampak betapa kuat
pengaruh akal dalam pemikiran yang di bangun kaum mu’tazilah itu dan ini
menjadi salah satu indikasi bahwa mu’tazilah layak di sebut sebagai kaum
rasional.
2.
Al-Adl (Keadilan Tuhan)
Al-adl merupakan kelanjutan dari ajaran at-tauhid.Jika
ajaran pertama mu’tazilah ingin mensucikan Tuhan dari persamaan dengan
makhluk-Nya, ajaran kedua ini mereka ingin mensucikan Tuhan dari perbuatan makhluk.Hanya
tuhan yang berbuat seadil-adilnya.Tuhan tidak mungkin berbuat zhalim.
Paham keadilan yang dikehendaki Mu’tazilah menyatakan bahwa
Tuhan tidak menghendaki keburukan, tidak menciptakan perbuatan manusia, manusia
dapat mengerjakan perintah-perintahnya dan meninggalkan ajaran-ajaran-Nya
dengan kekuasaan yang ditetapkan Tuhan pada diri manusia itu.
Semua perbuatan Tuhan bersifat baik. Tuhan dalam paham
Mu’tazilah tidak mau berbuat buruk, bahkan menurut salah satu sekte mu’tazilah,
Tuhan tidak bias berbuat buruk karena perbuatan yang demikian hanya dilakukan
oleh orang yang tidak sempurna sedangkan Tuhan Maha Sempurna.
Selanjutnya, masalah keadilan Tuhan ini mendorong timbulnya
masalah perbuatan manusia apakah perbuatan manusia itu diwujudkan oleh Tuhan
atau oleh manusia sendiri?.Dalam pandangan mu’tazilah yang menganut paham
qadariyah, perbuatan manusia diwujudkan oleh manusia sendiri.Tuhan dikatakan
adil jika menghukum orang yang berbuat buruk atas kemauannya sendiri.
3.
Al-Wa’du wal wa’id (Janji dan Ancaman)
Mu’tazilah
yakin bahwa Tuhan pasti akan memberikan pahala dan siksa kepada manusia di
akhirat. Orang yang melakukan kebaikan berhak mendapat pahala, sedangkan orang
yang melakukan keburukan berhak mendapat siksa dan ini pasti terjadi. Tuhan
tidak dapat berbuat lain kecuali melaksanakan janji-Nya.
Sebagai
realisasi dari janji-Nya itu Mu’tazilah berpendapat, tidak ada pengampunan bagi
orang yang berbuat dosa besar tanpa tobat, sebagaimana tidak mungkin orang yang
berbuat baik dihalang-halangi menerima pahala. Dalam hal ini mu’tazilah
berpendapat bahwa Tuhan tidak disebut adil jika ia tidak memberi pahala kepada
orang yang berbuat baik atau tidak menghukum orang yang berbuat buruk.
Mu’tazilah mengingkari adanya syafaat dihari kiamat, syafaat bertentangan
dengan prinsip janji dan ancaman.
4.
Manzilah bainal Manzilatain (Tempat
diantara dua tempat)
Ajaran keempat yang disebut posisi tengah menurut Mu’tazilah
maksudnya tempat diantara surge dan neraka.ajaran ini dinilai sangat
penting.Dengan ajaran ini, Washil rela memisahkan diri dari gurunya. Menurut
Washil, pelaku dosa besar juga orang musyrik tidak mukmin dan tidak kafir pula
tatapi fasik. Kefasikan ini berada diantara beriman dan kafir.
Prinsip jalan tengah yang dipegag Mu,tazialah diambil dari
Al-qur’an dan Hadits. Ayat al-qur’an yang dimaksud surat al-isra’ ayat 110,
dalil-dalil hadistnya ialah yang artinya Sebaik-baik perkara adalah yang
tengah-tengah.
5.
Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar
(perintah berbuat baik dan larangan berbuat jahat)
Ajaran yang terakhir ini secara prinsip tidak berbeda dari pendapat
golongan lainnya.Perbedaanya hanya pada pelaksanaannya, apakah seruan berbuat
baik dan larangan berbuat buruk itu dalakukan dengan lunak atau dengan
kekerasan.Mu’tazilah berpendapat bahwa amar ma’ruf nahi munkar sebaiknya
dilakukan dengan lemah lembut, walaupun sewaktu-waktu jika diperlukan bisa
dengan kekerasan.Sejarah membuktikan bahwa mereka pernah memakai kekerasan
dalam menyiarkan ajaran-ajaran mereka.Bagi kaum Mu’tazialh, orang-orang yang
menyalahi pendirian mereka dipandang sesat dan harus diluruskan.
Kekerasan yang mereka lakukan dalam menyebarluaskan ajaran
mereka seperti kebijaksanaan al-mihnahmembuat
al-Mu’tazilah tidak disukai sehingga merugikan bagi al-Mu’tazilah sendiri.Aliran
ini tenggelam dan hanya tercatat dalam sejarah.Namun di awal abad kedua puluh,
perhatian terhadap aliran ini mulai muncul, terutama di kalangan kaum
intelektual.[8]
2.5
Al-mihnah dan Perkembangannya
Kata al-Mihnah menurut
bahasa berarti ikhtibar, yaitu
pengujian. Dari sudut perkembangan pemikiran islam, al-mihnah diartikan dengan pengujian keyakinan
para ahli fiqh dan ahli hadits tentang kemakhlukan Al-Qur’an serta sanksi hukum
yang harus mereka terima sehubungan dengan keyakinan mereka tersebut.[9]
Paham Al-Qur’an adalah makhluk merupakan konsekuensi dari
paham tauhid.Tuhan betul-betul Maha Esa.Dia adalah qadim, tidak ada yang qadim selain
Dia. Hal itu menimbulkan pemikiran bahwa yang qadim lebih dari satu, mka tidak mencerminkan tauhid dalam
pandangan al-Mu’tazilah karena terjadinya ta’addud
al-qudama.Oleh sebab itu, al-Mu’tazilah mengatakan Al-Qur’an itu makhluk. Al-Qur’an yang dimaksud di sini
adalah Al-qur’an yang dibaca, yang terdiri dari huruf dan suara yang dapat
didengar.
Al-mihnah dilaksanakan karena adanya paham
yang menyebutkan bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah dan ia qadim, sedangkan paham al-Mu’tazilah
mengatakan bahwa Al-Qur’an itu tidak qadim.
Dari keyakinan inilah menimbulkan inisiatif untuk memelihara dan mengembalikan
keyakinan umat yang sudah bercampur syirik kepada tauhid.Jalan yang ditempuhnya
itu adalah al-mihnah. Ini merupakan konsekuensi dari
ajaran amar ma’ruf nahi munkar. Setiap orang wajib melaksanakan
ajaran tersebut sesuai dengan kemampuan yang ia miliki. Oleh sebab itu,
al-Ma’mun mempergunakan kekuasaannya untuk melaksanakan ajaran ini.
Langkah awal yang dilaksanakan al-Ma’mun dalam pengujian ini
adalah mengumumkan
secara resmi kepada umat Islam bahwa Al-Qur’an ialah makhluk. Enam tahun
sebelum kebijaksanaan al-mihnah itu dilaksanakan, al-Ma’mun merencanakan untuk
memasyarakatkan paham khalqAl-Qur’an,
tetapi dikhawatirkan terjadi perpecahan dan kekacauan di dalam masyarakat,
akhirnya rencana itu diurungkan karena atas pertimbangan Yahya binAksam, qadhi al-qudhat pada masa itu. Setelah
jabatan qadhi al-qudhat diganti
dengan Ahmad bin Ab Du’ad, rencana pengujian itu dilaksanakan oleh khalifah
berdasarkan usulan Ahmad bin Abi Du’ad. Pada tahun terakhir kekhalifahan
al-Ma’mun, ia mengeluarkan perintah al-mihnah
bagi para hakim, saksi, ahli fiqh, dan ahli hadits serta tokoh masyarakat
lainnya.
Sebelum meninggal, al-Ma’mun menulis
surat wasiat kepada penggantinya yaitu al-Mu’tasim agar melanjutkan pendidikan
tentang Al-Qur’an dan melibatkan Ahmad bin Du’ad dalam permusyawaratan segala
masalah. Dalam melaksanakan wasiat ini, al-Mu’tasim melakukan al-mihnah lebih kejam kepada para ulama
bahkan sebagian ada yang dibunuh, seperti Ahmad bin Hanbal dicambuk dan
dipenjarakan karena tetap menolak paham khalq
Al-Qur’an dan dia menerim siksaan al-Mu’tasim dengan tabah.
Sekitar tujuh tahun setelah al-mihnah dilaksanakan, al-Mu’tasim
meninggal pada tahun 227 H. Ia digantikan oleh al-Wasiq. Al-Wasiq adalah
seorang alim yang berwawasan luas. Ia sangat tegas menghukum orang yang menolak
paham khalq Al-Qur’an. Dalam
melaksanakan al-Mihnah, ia membunuh
Ahmad bin Nasr tetapi ia tidak berani membunuh Ahmad bin Hanbal karena Ahmad
bin Hanbal mempunyai pengaruh yang besar di kalangan fuqaha. Ahmad bin Hanbal hanya dibebaskan untuk meninggalkan
Baghdad.
Setelah al-Wasiq wafat, jabatan
khalifah dipegang oleh al-Mutawakil. Pada masanya al-mihnah hanya berlangsung 2 tahun dan kemudian dihapuskan.
Al-Mutawakil menghapus al-mihnah
dengan mengedarkan pengumuman pemberhentiannya ke seluruh wilayah dan melarang
masyarakat menyatakan khalq Al-Qur’an
serta mengancam mereka yang mempermasalahkannya. Ini disebabkan adanya
pertimbangan umum bahwa mayoritas masyarakat tidak menyukai Al-Mu’tazilah
dengan segala kekejamannya.
Peristiwa ini merugikan al-Mu’tazilah
karena kedudukan al-Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara terpaksa dibatalkan.
Apalagi setelah al-Mutawakil menunjuk sikap hormat dan menghargai Ahmad bin
Hanbal, lawan al-Mu’tazilah saat itu. Ketika paham al-Mu’tazilah mulai melemah, munculah Imam Abu Hasan al-Asy’ari tampil dengan ajaran kalamnya
menentang al-Mu’tazilah dan aliran yang dibangun adalah Ahl
al-Sunnah wa al-jama’ah. Yang berhasil menenggelamkan paham al-Mu’tazilah.
Kaum al-Mu’tazilah tidak banyak
berpegang kepada sunnah atau tradisi, bukan karena mereka tidak percaya kepada
tradisi Nabi dan sahabat, tetapi mereka ragu akan keoriginal hadis-hadis yang
mengandung tradisi itu. Oleh sebab itu, mereka dapat dipandang sebagai aliran
yang tidak berpegang teguh kepada sunnah. Barang kali ini juga salah satu penyebab
kemunduran aliran al-Mu’tazilah sehingga aliran ini banyak dikenal. Namun,
bukan berarti pemikiran rasional hilang sama sekali.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Mu’tazilah berasal dari kata kerja
yakni ‘azala artinya berpisah. Maka
Mu’tazilah itu berarti memisahkan diri. Aliran mu’tazilah lahir pada masa
pemerintahan Bani Umayah, yakni pada masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan
dan anaknya Hisyam. Meraka adalah pengikut dari Abul Husail Washil bin Atha
yang memisahkan diri dari gurunya yang bernama Hasan Basri.
Washil memisahkan diri dari guruya
yakni Hasan Basri karena berbeda pendapat mengenai orang beriman yang melakukan
dosa besar.Menurut Washil orang tersebut tidak mukmin dan juga tidak kafir,
melainkan fasik. Mereka akan ditempatkan diantara surga dan neraka.
Ada lima prinsip yang dipegang oleh Mu’tazilah, yakni:
a. Tauhid
b. Keadilan Tuhan
c. Al-Wa’du wal wa’id (Janji dan
Ancaman)
d. Manzilah bainal Manzilatain (Tempat
diantara dua tempat)
e. Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar
(perintah berbuat baik dan larangan berbuat jahat)
Al-Mu’tazilah
redup dan runtuh akibat pahamnya sendiri dan simpati umat berkurang dan benci
terhadap mereka atas kebijakan al-mihnah. Itu terjadi ketika
pemerintahan khalifah Al-Mutawakil
memimpin, status paham al-Mu’tazilah
di sebagai aliran resmi Negara di batalkan dan dilarang dan peristiwa al-mihnah
dihentikan. Ketika
paham itu lemah munculah Imam Abu Hasan
al-Asy’ari tampil
dengan ajaran kalamnya menentang al-Mu’tazilah dan aliran yang dibangun adalah Ahl
al-Sunnah wa al-jama’ah. Yang berhasil meneggelamkan paham al-Mu’tazilah.
DAFTAR
PUSTAKA
Avdich,
Kamil Y. 1987. Meneropong Doktrin Islam. Bandung
: Al-Maarif.
Nurdin,
Amin M, 2012, Sejarah Pemikiran Islam. Jakarta: Amzah.
Sudarsono.
2004. Filsafat Islam. Jakarta : PT
Rineka Cipta.
Zaini,
Syahminan. 1983. Kuliah Aqidah Islam. Surabaya : Al-Ikhlas.
No comments:
Post a Comment