BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Karakteristik
sistem perbankan syariah yang beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil
memberikan alternatif sistem perbankan yang saling menguntungkan bagi
masyarakat dan bank, serta menonjolkan aspek keadilan dalam bertransaksi,
investasi yang beretika, mengedepankan nilai-nilai kebersamaan dan persaudaraan
dalam berproduksi, dan menghindari kegiatan spekulatif dalam bertransaksi
keuangan. Dengan menyediakan beragam produk serta layanan jasa perbankan yang
beragam dengan skema keuangan yang lebih bervariatif, perbankan syariah menjadi
alternatif sistem perbankan yang kredibel dan dapat dinimati oleh seluruh
golongan masyarakat Indonesia tanpa terkecuali.
Dalam
konteks pengelolaan perekonomian makro, meluasnya penggunaan berbagai produk
dan instrumen keuangan syariah akan dapat merekatkan hubungan antara sektor
keuangan dengan sektor riil serta menciptakan harmonisasi di antara kedua
sektor tersebut. Semakin meluasnya penggunaan produk dan instrumen syariah
disamping akan mendukung kegiatan keuangan dan bisnis masyarakat juga akan
mengurangi transaksi-transaksi yang bersifat spekulatif, sehingga mendukung
stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan, yang pada gilirannya akan
memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pencapaian kestabilan harga
jangka menengah-panjang.
Dengan
telah diberlakukannya Undang-Undang No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
yang terbit tanggal 16 Juli 2008, maka pengembangan industri perbankan syariah
nasional semakin memiliki landasan hukum yang memadai dan akan mendorong
pertumbuhannya secara lebih cepat lagi. Dengan progres perkembangannya yang
impresif, yang mencapai rata-rata pertumbuhan aset lebih dari 65% pertahun
dalam lima tahun terakhir, maka diharapkan peran industri perbankan syariah
dalam mendukung perekonomian nasional akan semakin signifikan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kebijakan Pengembangan Perbankan Syariah di
Indonesia
Untuk
memberikan pedoman bagi stakeholders perbankan syariah dan meletakkan posisi
serta cara pandang Bank Indonesia dalam mengembangkan perbankan syariah di
Indonesia, selanjutnya Bank Indonesia pada tahun 2002 telah menerbitkan Cetak
Biru Pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia Dalam penyusunannya, berbagai
aspek telah dipertimbangkan secara komprehensif, antara lain kondisi aktual
industri perbankan syariah nasional beserta perangkat-perangkat terkait, trend
perkembangan industri
perbankan syariah di dunia internasional dan perkembangan sistem keuangan syariah nasional yang mulai mewujud, serta tak terlepas dari kerangka sistem keuangan yang bersifat lebih makro seperti Arsitektur Perbankan Indonesia (API) dan Arsitektur Sistem Keuangan Indonesia (ASKI) maupun international best practices yang dirumuskan lembaga-lembaga keuangan syariah internasional, seperti IFSB (Islamic Financial Services Board), AAOIFI dan IIFM.
perbankan syariah di dunia internasional dan perkembangan sistem keuangan syariah nasional yang mulai mewujud, serta tak terlepas dari kerangka sistem keuangan yang bersifat lebih makro seperti Arsitektur Perbankan Indonesia (API) dan Arsitektur Sistem Keuangan Indonesia (ASKI) maupun international best practices yang dirumuskan lembaga-lembaga keuangan syariah internasional, seperti IFSB (Islamic Financial Services Board), AAOIFI dan IIFM.
Pengembangan
perbankan syariah diarahkan untuk memberikan kemaslahatan terbesar bagi masyarakat
dan berkontribusi secara optimal bagi perekonomian nasional. Oleh karena itu,
maka arah pengembangan perbankan syariah nasional selalu mengacu kepada
rencana-rencana strategis lainnya, seperti Arsitektur Perbankan Indonesia
(API), Arsitektur Sistem Keuangan Indonesia (ASKI), serta Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional (RPJPN). Dengan demikian upaya pengembangan perbankan syariah
merupakan bagian dan kegiatan yang mendukung pencapaian rencana strategis dalam
skala yang lebih besar pada tingkat nasional.
Cetak
Biru Pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia memuat visi, misi dan sasaran
pengembangan perbankan syariah serta sekumpulan inisiatif strategis dengan
prioritas yang jelas untuk menjawab tantangan utama dan mencapai sasaran dalam
kurun waktu 10 tahun ke depan, yaitu pencapaian pangsa pasar perbankan syariah
yang signifikan melalui pendalaman peran perbankan syariah dalam aktivitas
keuangan nasional, regional dan internasional, dalam kondisi mulai terbentuknya
integrasi dgn sektor keuangan syariah lainnya.
Dalam
jangka pendek, perbankan syariah nasional lebih diarahkan pada pelayanan pasar
domestik yang potensinya masih sangat besar. Dengan kata lain, perbankan
Syariah nasional harus sanggup untuk menjadi pemain domestik akan tetapi
memiliki kualitas layanan dan kinerja yang bertaraf internasional.
Pada
akhirnya, sistem perbankan syariah yang ingin diwujudkan oleh Bank Indonesia
adalah perbankan syariah yang modern, yang bersifat universal, terbuka bagi
seluruh masyarakat Indonesia tanpa terkecuali. Sebuah sistem perbankan yang
menghadirkan bentuk-bentuk aplikatif dari konsep ekonomi syariah yang
dirumuskan secara bijaksana, dalam konteks kekinian permasalahan yang sedang
dihadapi oleh bangsa Indonesia, dan dengan tetap memperhatikan kondisi
sosio-kultural di dalam mana bangsa ini menuliskan perjalanan sejarahnya. Hanya
dengan cara demikian, maka upaya pengembangan sistem perbankan syariah akan
senantiasa dilihat dan diterima oleh segenap masyarakat Indonesia sebagai
bagian dari solusi atas berbagai permasalahan negeri.
B. Perbankan Syariah dalam UU
Dalam penjelasan umum Undang-undang
Nomor 21 tahun 2008 menyebutkan bahwa guna menjamin kepastian hukum bagi
stakeholders dan sekaligus memberikan keyakinan kepada masyarakat dalam
menggunakan produk dan jasa Bank Syariah, dalam Undang-Undang Perbankan Syariah
ini diatur jenis usaha, ketentuan pelaksanaan syariah, kelayakan usaha,
penyaluran dana, dan larangan bagi Bank Syariah maupun Unit Usaha Syariah yang
merupakan bagian dari Bank Umum Konvensional. Sementara itu, untuk memberikan
keyakinan pada masyarakat yang masih meragukan kesyariahan operasional
Perbankan Syariah selama ini, diatur pula kegiatan usaha yang tidak
bertentangan dengan Prinsip Syariah meliputi kegiatan usaha yang tidak
mengandung unsur-unsur riba, maisir, gharar, haram, dan zalim.
Sebagai undang-undang yang khusus
mengatur perbankan syariah, dalam Undang-Undang ini diatur mengenai masalah
kepatuhan syariah (syariah compliance) yang kewenangannya berada pada Majelis
Ulama Indonesia yang direpresentasikan melalui Dewan Pengawas Syariah yang
harus dibentuk pada masing-masing Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah. Untuk
menindaklanjuti implementasi fatwa yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia ke
dalam Peraturan Bank Indonesia, di dalam internal Bank Indonesia dibentuk
komite perbankan syariah, yang keanggotaannya terdiri atas perwakilan dari Bank
Indonesia, Departemen Agama, dan unsur masyarakat yang komposisinya berimbang.
Setelah terbit Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan
maka Fatwa Majelis Ulama Indonesia dikeluarkan dalam bentuk Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan.
Undang undang Nomor 21 tahun 2008
memiliki beberapa ketentuan umum yang menarik untuk dicermati. Ketentuan umum
sebagaimana tersebut dalam Pasal 1 adalah merupakan sesuatu yang baru dan akan
memberikan implikasi tertentu, meliputi:
a. Istilah Bank
Perkreditan Rakyat yang diubah menjadi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.
Perubahan ini untuk lebih menegaskan adanya perbedaan antara kredit dan
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.
b. Definisi
Prinsip Syariah. Dalam definisi dimaksud memiliki dua pesan penting yaitu (1)
prinsip syariah adalah prinsip hukum Islam dan (2) penetapan pihak/lembaga yang
berwenang mengeluarkan fatwa yang menjadi dasar prinsip syariah.
c. Penetapan
Dewan Pengawas Syariah sebagai pihak terafiliasi seperti halnya akuntan publik,
konsultan dan penilai.
d. Definisi
pembiayaan yang berubah secara signifikan dibandingkan definisi yang ada dalam
Undang-Undang sebelumnya tentang perbankan (Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998).
Dalam definisi terbaru, pembiayaan dapat berupa transaksi bagi hasil, transaksi
sewa menyewa, transaksi jual beli, transaksi pinjam meminjam dan transaksi sewa
menyewa jasa (multijasa).
Kemudian Bank Syariah yang telah
mendapatkan izin usaha setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah ini, wajib mencantumkan dengan jelas katasyariah setelah kata bankatau nama bank . Sedangkan Unit Usaha
Syariah yang telah mendapatkan izin usaha setelah berlakunya Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah ini, wajib mencantumkan dengan
jelas fraseUnit Usaha Syariah setelah nama Bank pada kantor Unit Usaha Syariah
yang bersangkutan. Selain mendirikan Bank Syariah atau UUS baru, pihak-pihak
yang ingin melakukan kegiatan usaha perbankan syariah dapat melakukan
pengubahan (konversi) bank konvensional menjadi Bank syariah. Pengubahan dari
Bank Syariah menjadi bank konvensional merupakan hal yang dilarang dalam UU
ini.[1]Disamping
itu, pendirian Bank Umum Syariah baru dapat dilakukan dengan cara pemisahan
(spin off) Unit Usaha Syariah dari induknya yang dilakukan secara sukarela[2]
atau dilakukan dalam rangka memenuhi kewajiban.[3]
C. Perbankan
Syariah Dalam Peraturan Pemerintah
Terdapat empat Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang Perbankan
Syariah. Pertama, PP No. 70 Tahun 1992 tentang Bank Umum dan
perubahan-perubahannya. Hal penting dari PP ini berkaitan dengan Bank Syariah,
sebagaimana tertera dalam Pasal 2 PP No. 38 Tahun 1998 tentang Perubahan atas
PP No. 70 Tahun 1992 adalah tentang modal disetor utuk mendirikan Bank Umum dan
Bank Campuran yang sekurang-kurangnya sebesar Rp. 3 triliun. Kedua, PP No.71
Tahun 1992 tentang BPR yang dalam penjelasannya disebutkan bahwa BPR yang
berdasarkan prinsip bagi hasil adalah bank sebagaimana dimaksud dalam peraturan
perundang-undangan tentang bank berdasarkan prinsip bagi hasil. Ketiga, PP
No.72 Tahun 1992 tentang Bank berdasarkan prinsip bagi hasil disebutkan bahwa
bank yang melaksanakan prinsip bagi hasil harus memperhatikan prinsip-prinsip
syariah, harus adanya DPS dan larangan melakukan kegiatan usaha yang
bertentangan dengan prinsip bagi hasil. Keempat, PP No. 30 Tahun 1999 tentang
pencabutan tiga PP diatas dikarenakan pemberlakuan UU No. 10 Tahun 1998 maka
ketentuan pelaksanaan Bank Umum dan BPR yang melaksanakan prinsip bagi hasil
menjadi wewenang BI bukan Pemerintah. Sehingga regulasinya tidak lagi diatur PP
melainkan oleh PBI dan yang berwenang melakukan pembinaan dan pengawasan
berpindah dari pemerintah melalui Departemen Keuangan ke Bank Indonesia.
D. Permasalahan
Perkembangan Bank Syariah
Banyak kendala dan permasalahan yang dihadapi Bank
Syariah dalam pengembangannya. Berikut dikemukakan beberapa kendala :
1. Minimnya pemahaman
Masyarakat terhadap kegiatan operasional Bank Syariah
2. Peraturan yang
berlaku belum sepenuhnya mengakomodasi operasional Bank Syariah
3. Jaringan kantor bank
syariah yang belum luas.
4. Minimnya Sumber Daya
Manusia yang memiliki keahlian dalam bank syariah
5. Institusi pendukung
yang belum lengkap dan efektif[4]
6. Porsi skim
pembiayaan bagi hasil dalm transaksi bank syariah masih perlu ditingkatkan.
Dari permasalahan yang dikemukakan diatas dapat
dirumuskan beberapa strategi pengembangan yang harus dilakukan, diantaranya:
1. Pelaksanaan Kegiatan sosialisasi Perbankan Syariah[5]
Maju tidaknya suatu lembaga tergantung bagaimana cara
berkomunikasnya. Sosialisasi adalah hal terpenting yang perlu dilakukan. Hal
ini bertujuan untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat guna meningkatkan
pemahamannya.
Sosialisasi ini dapat terlaksana dengan baik diperlukan
kerjasama dengan lembaga-lembaga lain, seperti lembaga pendidikan, ulama, dan
media. [6]
2. Penyusunan dan
Penyempurnaan Ketentuan Operasional Bank Syariah.[7]
Upaya yang dilakukan adalah penyesuaian perangkat dasar
Undang-Undang Bank sentral, Undang-Undang Perbankan, dan penyusunan
perangkat-perangkat pendukung kegiatan operasional Bank syariah. Cikal bakal
yang dilakukan pemerintah adalah melalui perubahan UU No. 07 1992 ke UU. No.10
tahun 1998. Yang selanjutnya dituangkan dalam surat keputusan Direksi Bank
Indonesia.
Namun yang paling penting dilakukan saat ini adalah
perlunya sebuah Regulasi Khusus Bank Syariah. Karena tanpa adanya peran
regulasi dan pengawasan, kepercayaan masyarakat pada sistem tidak akan
terwujud. Kegagalan pada tahap awal pembentukan akan menurunkan reputasi
sistem, dan justru akan menghambat usaha Islamisasi sistem keuangan di
negara-negara Muslim.[8]
perkembangan perbankan Islam yang semakin pesat baik dari
sisi volume usaha, jaringan kantor, dan kompleksitas jenis produk, menuntut
adanya upaya pengaturan yang lebih jelas dan memadai.[9]
walau lahirnya UU No. 10 tahun 1998 mensejajarkan Bank
Syariah dengan Bank Konvensional. Namun demikian, berkaitan dengan pengaturan
dan pasal-pasal yang mengatur perbankan islam dalam undang-undang tersebut
tidak seimbang. Terkesan bahwa perbankan konvensional menjadi titik tekan
pemerintah, dan bahkan perbankan Islam menjadi subordinasi dari bank
konvensional. Sebab perbankan islam hanya diatur dengan beberapa pasal saja,
dan banyak pengaturan mengikuti pola umum yang ada dalam sistem
konvensional.Hal tersebut dapat dilihat dalam beberapa hal berikut:
pasal 6, 7, 8 dan 9 UU No. 10
1998 yang mengakomodasi pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, terjadi
inkosistensi Hukum. Pada pasal diatas pembiayaan syariah diakui. Namun dalam
pasal 10, Bahwa Bank umum dilarang: melakukan penyertaan modal, kecuali pasal 7
huruf b dan c. yang membolehkan penyertaan modal pada perusahaan lain di bidang
keuangan. (c) bank dapat melakukan penyertaan modal sementara
untukmengatasi kegagalan kredit atau kegaglan pembiayaan berdasarkan prinsip
syariah. Dengan demikian, pembiayaan yang dilakukan oleh BUS adalah pada sektor
keunangan saja. Padahal pembiayaan dalam BUS lebih mengutamakan pada sektor
riil.
Praktek riba (bunga), bonus yang
terdapat pada SWBI. Bonus tersebut bisa diklaim sebagai rba karena bukan
berdasarkan pada tingkat hasil investasi dari uang yang dititipkan tersebut.
Imbalan yang terdapat pada sertifikat
IMA yang menggunakan dua model, yaitu revenue sharing dan profit and loss
sharing. Penggunaan revenue sharing dalam investasi mudharabah yang jelas
bertentangan dengan prinsip dasar skim Mudharabah.
Tidak diaturnya Dewan Pengawas Syariah
dalam UU No. 1998 namun hanya diatur dalam PP No. 72 tahun 1992. Ironis sekali
karena DPS begitu urgen. Sehingga perlu pengaturan yang lebih kuat dalam
Undang-undang.
Aspek operasional perbankan syariah
dalam perbankan Syariah seperti Penilaian CAR (Capital Adequacy Ratio). Dalam
konvensional DPK (Dana Pihak Ketiga) merupakan modal bank tersebut. Sedangkan
dalam Bank Syariah bukan dikategorikan sebagai modal.
Hal-hal lain masih banyak yang perlu dipertimbangkan oleh
pemerintah untuk mengembangkan bank Syariah di Indonesia.
3. Pengembangan
Jaringan Bank Syariah
Pengembangan Jaringan
Perbankan Syariah dilakukan melalui cara:
·
Peningkatan Kualitas BUS dan BPRS yang telah beroperasi Perubahan Kegiatan
usaha bank Konvensional yang memiliki kondisi usaha yang bak dan berminat untuk
melakukan kegiatan usaha bank berdasarkan prinsip syariah
·
Pembukaan kantor cabang Syariah. Melalui tiga cara; pertama, Pembukaan
kantor cabang dengan mendirikan kantor cabang baru. Kedua, perubahan kantor
cabang yang ada menjadi syariah. Ketiga, peningkatan status kantor cabang
pembantu menjadi kantor cabang syariah.
4. Pengembangan Sumber
Daya Manusia (SDM)
Pengembangan Sumber Daya Manusia penting untuk ditekankan
terutama bagi bank syariah yang didirikan dengan cara mengkonversi bank
Konvensional menjadi bank syariah atau pembukaan kantor cabang bank syariah
pada bank konvensional. Baik secara kualitas maupun kuantitasnya.Upaya yang dilakukan
yaitu dengan cara:[10]
·
Pengadaan pelatihan operasional perbankan syariah. Bekerjasama dengan
lembaga pendidikan seperti LPPI.
·
Melakukan Kajian/penelitian
·
Memfasilitasi kesempatan kerja praktik, magang, serta penelitian
·
Menyusun text book ekonomi Islam bagi perguruan tinggi.
·
Workshop Perbankan Syariah di bidang kegiatan usaha dan produk islam.
·
Penyelenggaraan pendidikan formal, informal dan non formal mengenai
perbankan syariah.
5. Kepatuhan pada
prinsip-prinsip syariah.
Hal ini dilakukan untuk menerbitkan peraturan yaitu
dengan dikeluarkannya ketentuan akad penghimpunan dan penyaluran Bank syariah
yang bertujuan untuk mendukung pengembangan produk yang selaras antara aspek
syariah dan kehati-hatian. Pada paket oktober 2006 (Pakto 2006) tentang pedoman
Pengawas Syariah dan tata cara pelaporan bagi DPS.[11]
6.Mengoptimalkan fungsi
sosial bank syariah dalam memfasilitasi keterkaitan antara social/voluntary
sector dengan pemberdayaan ekonomi rakyat.[12]
9. Implementasi aturan Prudensial.
10. Stabilitas sistemik
dan terciptanya maslahat perekonomian.
11. Efesiensi
Operasional dan daya saing.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Yang menghambat perkembangan Bank syariah adalah
kurangnya jaringan bank syariah, hukum yang masih belum jelas pada awal
perkembangannya, kurang terlatihnya SDM dan SDI umat islam mengenai Bank Islam.
Strategi yang dilakukan adalah peningkatan SDM, pengadaan
hukumdan regulasi khusus yang mengatur bank islam, peningkatan sosialisasi
kepada masyarakat dan peningkatan jaringan Bank syariah.
DAFTAR PUSTAKA
Awalil Rizky, BMT: Fakta dan Prospek Baitul Maal wat Tamwil,
Yogyakarta: UCY Press
Muhammad Syafi’i
Antonio, Bank Syariah: dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema Insani
M. Umer Chapra dan
Tariqullah Khan, Regulasi dan Pengawasan Bank Syariah. Jakarta: Bumi Aksara
Muhammad Syafi’i
Antonio. Bank Syariah: dari Teori ke Praktik.
Amir Mahmud dan
Rukman, Bank Syariah:Teori, Kebijakan, dan Studi Empiris di Indonesia.
Awalil Rizky, BMT:
Fakta dan Prospek Baitul Maal wat Tamwil.
No comments:
Post a Comment