Friday 5 February 2016

Perbankan Syariah

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
            Karakteristik sistem perbankan syariah yang beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil memberikan alternatif sistem perbankan yang saling menguntungkan bagi masyarakat dan bank, serta menonjolkan aspek keadilan dalam bertransaksi, investasi yang beretika, mengedepankan nilai-nilai kebersamaan dan persaudaraan dalam berproduksi, dan menghindari kegiatan spekulatif dalam bertransaksi keuangan. Dengan menyediakan beragam produk serta layanan jasa perbankan yang beragam dengan skema keuangan yang lebih bervariatif, perbankan syariah menjadi alternatif sistem perbankan yang kredibel dan dapat dinimati oleh seluruh golongan masyarakat Indonesia tanpa terkecuali.

            Dalam konteks pengelolaan perekonomian makro, meluasnya penggunaan berbagai produk dan instrumen keuangan syariah akan dapat merekatkan hubungan antara sektor keuangan dengan sektor riil serta menciptakan harmonisasi di antara kedua sektor tersebut. Semakin meluasnya penggunaan produk dan instrumen syariah disamping akan mendukung kegiatan keuangan dan bisnis masyarakat juga akan mengurangi transaksi-transaksi yang bersifat spekulatif, sehingga mendukung stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan, yang pada gilirannya akan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pencapaian kestabilan harga jangka menengah-panjang.

            Dengan telah diberlakukannya Undang-Undang No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang terbit tanggal 16 Juli 2008, maka pengembangan industri perbankan syariah nasional semakin memiliki landasan hukum yang memadai dan akan mendorong pertumbuhannya secara lebih cepat lagi. Dengan progres perkembangannya yang impresif, yang mencapai rata-rata pertumbuhan aset lebih dari 65% pertahun dalam lima tahun terakhir, maka diharapkan peran industri perbankan syariah dalam mendukung perekonomian nasional akan semakin signifikan.





BAB II
PEMBAHASAN

A. Kebijakan Pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia
            Untuk memberikan pedoman bagi stakeholders perbankan syariah dan meletakkan posisi serta cara pandang Bank Indonesia dalam mengembangkan perbankan syariah di Indonesia, selanjutnya Bank Indonesia pada tahun 2002 telah menerbitkan Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia Dalam penyusunannya, berbagai aspek telah dipertimbangkan secara komprehensif, antara lain kondisi aktual industri perbankan syariah nasional beserta perangkat-perangkat terkait, trend perkembangan industri
perbankan syariah di dunia internasional dan perkembangan sistem keuangan syariah nasional yang mulai mewujud, serta tak terlepas dari kerangka sistem keuangan yang bersifat lebih makro seperti Arsitektur Perbankan Indonesia (API) dan Arsitektur Sistem Keuangan Indonesia (ASKI) maupun international best practices yang dirumuskan lembaga-lembaga keuangan syariah internasional, seperti IFSB (Islamic Financial Services Board), AAOIFI dan IIFM.

            Pengembangan perbankan syariah diarahkan untuk memberikan kemaslahatan terbesar bagi masyarakat dan berkontribusi secara optimal bagi perekonomian nasional. Oleh karena itu, maka arah pengembangan perbankan syariah nasional selalu mengacu kepada rencana-rencana strategis lainnya, seperti Arsitektur Perbankan Indonesia (API), Arsitektur Sistem Keuangan Indonesia (ASKI), serta Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN). Dengan demikian upaya pengembangan perbankan syariah merupakan bagian dan kegiatan yang mendukung pencapaian rencana strategis dalam skala yang lebih besar pada tingkat nasional.

            Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia memuat visi, misi dan sasaran pengembangan perbankan syariah serta sekumpulan inisiatif strategis dengan prioritas yang jelas untuk menjawab tantangan utama dan mencapai sasaran dalam kurun waktu 10 tahun ke depan, yaitu pencapaian pangsa pasar perbankan syariah yang signifikan melalui pendalaman peran perbankan syariah dalam aktivitas keuangan nasional, regional dan internasional, dalam kondisi mulai terbentuknya integrasi dgn sektor keuangan syariah lainnya.

            Dalam jangka pendek, perbankan syariah nasional lebih diarahkan pada pelayanan pasar domestik yang potensinya masih sangat besar. Dengan kata lain, perbankan Syariah nasional harus sanggup untuk menjadi pemain domestik akan tetapi memiliki kualitas layanan dan kinerja yang bertaraf internasional.

            Pada akhirnya, sistem perbankan syariah yang ingin diwujudkan oleh Bank Indonesia adalah perbankan syariah yang modern, yang bersifat universal, terbuka bagi seluruh masyarakat Indonesia tanpa terkecuali. Sebuah sistem perbankan yang menghadirkan bentuk-bentuk aplikatif dari konsep ekonomi syariah yang dirumuskan secara bijaksana, dalam konteks kekinian permasalahan yang sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia, dan dengan tetap memperhatikan kondisi sosio-kultural di dalam mana bangsa ini menuliskan perjalanan sejarahnya. Hanya dengan cara demikian, maka upaya pengembangan sistem perbankan syariah akan senantiasa dilihat dan diterima oleh segenap masyarakat Indonesia sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan negeri.

B. Perbankan Syariah dalam UU
            Dalam penjelasan umum Undang-undang Nomor 21 tahun 2008 menyebutkan bahwa guna menjamin kepastian hukum bagi stakeholders dan sekaligus memberikan keyakinan kepada masyarakat dalam menggunakan produk dan jasa Bank Syariah, dalam Undang-Undang Perbankan Syariah ini diatur jenis usaha, ketentuan pelaksanaan syariah, kelayakan usaha, penyaluran dana, dan larangan bagi Bank Syariah maupun Unit Usaha Syariah yang merupakan bagian dari Bank Umum Konvensional. Sementara itu, untuk memberikan keyakinan pada masyarakat yang masih meragukan kesyariahan operasional Perbankan Syariah selama ini, diatur pula kegiatan usaha yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah meliputi kegiatan usaha yang tidak mengandung unsur-unsur riba, maisir, gharar, haram, dan zalim.

            Sebagai undang-undang yang khusus mengatur perbankan syariah, dalam Undang-Undang ini diatur mengenai masalah kepatuhan syariah (syariah compliance) yang kewenangannya berada pada Majelis Ulama Indonesia yang direpresentasikan melalui Dewan Pengawas Syariah yang harus dibentuk pada masing-masing Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah. Untuk menindaklanjuti implementasi fatwa yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia ke dalam Peraturan Bank Indonesia, di dalam internal Bank Indonesia dibentuk komite perbankan syariah, yang keanggotaannya terdiri atas perwakilan dari Bank Indonesia, Departemen Agama, dan unsur masyarakat yang komposisinya berimbang. Setelah terbit Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan maka Fatwa Majelis Ulama Indonesia dikeluarkan dalam bentuk Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.

            Undang undang Nomor 21 tahun 2008 memiliki beberapa ketentuan umum yang menarik untuk dicermati. Ketentuan umum sebagaimana tersebut dalam Pasal 1 adalah merupakan sesuatu yang baru dan akan memberikan implikasi tertentu, meliputi:

a. Istilah Bank Perkreditan Rakyat yang diubah menjadi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. Perubahan ini untuk lebih menegaskan adanya perbedaan antara kredit dan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.
b. Definisi Prinsip Syariah. Dalam definisi dimaksud memiliki dua pesan penting yaitu (1) prinsip syariah adalah prinsip hukum Islam dan (2) penetapan pihak/lembaga yang berwenang mengeluarkan fatwa yang menjadi dasar prinsip syariah.
c. Penetapan Dewan Pengawas Syariah sebagai pihak terafiliasi seperti halnya akuntan publik, konsultan dan penilai.
d. Definisi pembiayaan yang berubah secara signifikan dibandingkan definisi yang ada dalam Undang-Undang sebelumnya tentang perbankan (Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998). Dalam definisi terbaru, pembiayaan dapat berupa transaksi bagi hasil, transaksi sewa menyewa, transaksi jual beli, transaksi pinjam meminjam dan transaksi sewa menyewa jasa (multijasa).
            Kemudian Bank Syariah yang telah mendapatkan izin usaha setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah ini, wajib mencantumkan dengan jelas katasyariah setelah kata bankatau nama bank . Sedangkan Unit Usaha Syariah yang telah mendapatkan izin usaha setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah ini, wajib mencantumkan dengan jelas fraseUnit Usaha Syariah setelah nama Bank pada kantor Unit Usaha Syariah yang bersangkutan. Selain mendirikan Bank Syariah atau UUS baru, pihak-pihak yang ingin melakukan kegiatan usaha perbankan syariah dapat melakukan pengubahan (konversi) bank konvensional menjadi Bank syariah. Pengubahan dari Bank Syariah menjadi bank konvensional merupakan hal yang dilarang dalam UU ini.[1]Disamping itu, pendirian Bank Umum Syariah baru dapat dilakukan dengan cara pemisahan (spin off) Unit Usaha Syariah dari induknya yang dilakukan secara sukarela[2] atau dilakukan dalam rangka memenuhi kewajiban.[3]

C. Perbankan Syariah Dalam Peraturan Pemerintah
          Terdapat empat Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang Perbankan Syariah. Pertama, PP No. 70 Tahun 1992 tentang Bank Umum dan perubahan-perubahannya. Hal penting dari PP ini berkaitan dengan Bank Syariah, sebagaimana tertera dalam Pasal 2 PP No. 38 Tahun 1998 tentang Perubahan atas PP No. 70 Tahun 1992 adalah tentang modal disetor utuk mendirikan Bank Umum dan Bank Campuran yang sekurang-kurangnya sebesar Rp. 3 triliun. Kedua, PP No.71 Tahun 1992 tentang BPR yang dalam penjelasannya disebutkan bahwa BPR yang berdasarkan prinsip bagi hasil adalah bank sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan tentang bank berdasarkan prinsip bagi hasil. Ketiga, PP No.72 Tahun 1992 tentang Bank berdasarkan prinsip bagi hasil disebutkan bahwa bank yang melaksanakan prinsip bagi hasil harus memperhatikan prinsip-prinsip syariah, harus adanya DPS dan larangan melakukan kegiatan usaha yang bertentangan dengan prinsip bagi hasil. Keempat, PP No. 30 Tahun 1999 tentang pencabutan tiga PP diatas dikarenakan pemberlakuan UU No. 10 Tahun 1998 maka ketentuan pelaksanaan Bank Umum dan BPR yang melaksanakan prinsip bagi hasil menjadi wewenang BI bukan Pemerintah. Sehingga regulasinya tidak lagi diatur PP melainkan oleh PBI dan yang berwenang melakukan pembinaan dan pengawasan berpindah dari pemerintah melalui Departemen Keuangan ke Bank Indonesia.

D. Permasalahan Perkembangan Bank Syariah
            Banyak kendala dan permasalahan yang dihadapi Bank Syariah dalam pengembangannya. Berikut dikemukakan beberapa kendala :
1. Minimnya pemahaman Masyarakat terhadap kegiatan operasional Bank Syariah
2. Peraturan yang berlaku belum sepenuhnya mengakomodasi operasional Bank Syariah
3. Jaringan kantor bank syariah yang belum luas.
4. Minimnya Sumber Daya Manusia yang memiliki keahlian dalam bank syariah
5. Institusi pendukung yang belum lengkap dan efektif[4]
6. Porsi skim pembiayaan bagi hasil dalm transaksi bank syariah masih perlu ditingkatkan.

E. Strategi Pengembangan Bank Syariah
            Dari permasalahan yang dikemukakan diatas dapat dirumuskan beberapa strategi pengembangan yang harus dilakukan, diantaranya:
1. Pelaksanaan Kegiatan sosialisasi Perbankan Syariah[5]      
            Maju tidaknya suatu lembaga tergantung bagaimana cara berkomunikasnya. Sosialisasi adalah hal terpenting yang perlu dilakukan. Hal ini bertujuan untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat guna meningkatkan pemahamannya.
            Sosialisasi ini dapat terlaksana dengan baik diperlukan kerjasama dengan lembaga-lembaga lain, seperti lembaga pendidikan, ulama, dan media. [6]
2. Penyusunan dan Penyempurnaan Ketentuan Operasional Bank Syariah.[7]
            Upaya yang dilakukan adalah penyesuaian perangkat dasar Undang-Undang Bank sentral, Undang-Undang Perbankan, dan penyusunan perangkat-perangkat pendukung kegiatan operasional Bank syariah. Cikal bakal yang dilakukan pemerintah adalah melalui perubahan UU No. 07 1992 ke UU. No.10 tahun 1998. Yang selanjutnya dituangkan dalam surat keputusan Direksi Bank Indonesia.
            Namun yang paling penting dilakukan saat ini adalah perlunya sebuah Regulasi Khusus Bank Syariah. Karena tanpa adanya peran regulasi dan pengawasan, kepercayaan masyarakat pada sistem tidak akan terwujud. Kegagalan pada tahap awal pembentukan akan menurunkan reputasi sistem, dan justru akan menghambat usaha Islamisasi sistem keuangan di negara-negara Muslim.[8]
            perkembangan perbankan Islam yang semakin pesat baik dari sisi volume usaha, jaringan kantor, dan kompleksitas jenis produk, menuntut adanya upaya pengaturan yang lebih jelas dan memadai.[9]
            walau lahirnya UU No. 10 tahun 1998 mensejajarkan Bank Syariah dengan Bank Konvensional. Namun demikian, berkaitan dengan pengaturan dan pasal-pasal yang mengatur perbankan islam dalam undang-undang tersebut tidak seimbang. Terkesan bahwa perbankan konvensional menjadi titik tekan pemerintah, dan bahkan perbankan Islam menjadi subordinasi dari bank konvensional. Sebab perbankan islam hanya diatur dengan beberapa pasal saja, dan banyak pengaturan mengikuti pola umum yang ada dalam sistem konvensional.Hal tersebut dapat dilihat dalam beberapa hal berikut:  
             pasal 6, 7, 8 dan 9 UU No. 10 1998 yang mengakomodasi pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, terjadi inkosistensi Hukum. Pada pasal diatas pembiayaan syariah diakui. Namun dalam pasal 10, Bahwa Bank umum dilarang: melakukan penyertaan modal, kecuali pasal 7 huruf b dan c. yang membolehkan penyertaan modal pada perusahaan lain di bidang keuangan. (c) bank dapat melakukan penyertaan  modal sementara untukmengatasi kegagalan kredit atau kegaglan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. Dengan demikian, pembiayaan yang dilakukan oleh BUS adalah pada sektor keunangan saja. Padahal pembiayaan dalam BUS lebih mengutamakan pada sektor riil.
            Praktek riba (bunga), bonus yang terdapat pada SWBI.  Bonus tersebut bisa diklaim sebagai rba karena bukan berdasarkan pada tingkat hasil investasi dari uang yang dititipkan tersebut.
            Imbalan yang terdapat pada sertifikat IMA yang menggunakan dua model, yaitu revenue sharing dan profit and loss sharing. Penggunaan revenue sharing dalam investasi mudharabah yang jelas bertentangan dengan prinsip dasar skim Mudharabah.
            Tidak diaturnya Dewan Pengawas Syariah dalam UU No. 1998 namun hanya diatur dalam PP No. 72 tahun 1992. Ironis sekali karena DPS begitu urgen. Sehingga perlu pengaturan yang lebih kuat dalam Undang-undang.
            Aspek operasional perbankan syariah dalam perbankan Syariah seperti Penilaian CAR (Capital Adequacy Ratio). Dalam konvensional DPK (Dana Pihak Ketiga) merupakan modal bank tersebut. Sedangkan dalam Bank Syariah bukan dikategorikan sebagai modal.
            Hal-hal lain masih banyak yang perlu dipertimbangkan oleh pemerintah untuk mengembangkan bank Syariah di Indonesia.
3. Pengembangan Jaringan Bank Syariah
Pengembangan Jaringan Perbankan Syariah dilakukan melalui cara:
·      Peningkatan Kualitas BUS dan BPRS yang telah beroperasi Perubahan Kegiatan usaha bank Konvensional yang memiliki kondisi usaha yang bak dan berminat untuk melakukan kegiatan usaha bank berdasarkan prinsip syariah
·      Pembukaan kantor cabang Syariah. Melalui tiga cara; pertama, Pembukaan kantor cabang dengan mendirikan kantor cabang baru. Kedua, perubahan kantor cabang yang ada menjadi syariah. Ketiga, peningkatan status kantor cabang pembantu menjadi kantor cabang syariah.
4. Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM)
       Pengembangan Sumber Daya Manusia penting untuk ditekankan terutama bagi bank syariah yang didirikan dengan cara mengkonversi bank Konvensional menjadi bank syariah atau pembukaan kantor cabang bank syariah pada bank konvensional. Baik secara kualitas maupun kuantitasnya.Upaya yang dilakukan yaitu dengan cara:[10]
·      Pengadaan pelatihan operasional perbankan syariah. Bekerjasama dengan lembaga pendidikan seperti LPPI.
·      Melakukan Kajian/penelitian
·      Memfasilitasi kesempatan kerja praktik, magang, serta penelitian
·      Menyusun text book ekonomi Islam bagi perguruan tinggi.
·      Workshop Perbankan Syariah di bidang kegiatan usaha dan produk islam.
·      Penyelenggaraan pendidikan formal, informal dan non formal mengenai perbankan syariah.
5.  Kepatuhan pada prinsip-prinsip syariah.
            Hal ini dilakukan untuk menerbitkan peraturan yaitu dengan dikeluarkannya ketentuan akad penghimpunan dan penyaluran Bank syariah yang bertujuan untuk mendukung pengembangan produk yang selaras antara aspek syariah dan kehati-hatian. Pada paket oktober 2006 (Pakto 2006) tentang pedoman Pengawas Syariah dan tata cara pelaporan bagi DPS.[11]
6.Mengoptimalkan fungsi sosial bank syariah dalam memfasilitasi keterkaitan antara social/voluntary sector dengan pemberdayaan ekonomi rakyat.[12]
9.  Implementasi aturan Prudensial.
10. Stabilitas sistemik dan terciptanya maslahat perekonomian.
11.  Efesiensi Operasional dan daya saing.





BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
            Yang menghambat perkembangan Bank syariah adalah kurangnya jaringan bank syariah, hukum yang masih belum jelas pada awal perkembangannya, kurang terlatihnya SDM dan SDI umat islam mengenai Bank Islam.
            Strategi yang dilakukan adalah peningkatan SDM, pengadaan hukumdan regulasi khusus yang mengatur bank islam, peningkatan sosialisasi kepada masyarakat dan peningkatan jaringan Bank syariah. 


DAFTAR PUSTAKA
               
                Awalil Rizky, BMT: Fakta dan Prospek Baitul Maal wat Tamwil, Yogyakarta: UCY Press
            Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah: dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema Insani
            M. Umer Chapra dan Tariqullah Khan, Regulasi dan Pengawasan Bank Syariah. Jakarta: Bumi Aksara
            Muhammad Syafi’i Antonio. Bank Syariah: dari Teori ke Praktik.
            Amir Mahmud dan Rukman, Bank Syariah:Teori, Kebijakan, dan Studi Empiris di Indonesia.
            Awalil Rizky, BMT: Fakta dan Prospek Baitul Maal wat Tamwil.





                [1]Lihat Pasal 5.      
                [2]Lihat Pasal 16.
                [3]Lihat Pasal 68.
                [4]Awalil Rizky, BMT: Fakta dan Prospek Baitul Maal wat Tamwil, (Yogyakarta: UCY Press, 2007) hal. 79
                [5]Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah: dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani, 2007) hal.229
                [6]Ibid, 229
                [7]Ibid, 227
                [8]M. Umer Chapra dan Tariqullah Khan, Regulasi dan Pengawasan Bank Syariah. (Jakarta: Bumi Aksara, 2008) hal. 30
                [9]Muhammad Syafi’i Antonio. Bank Syariah: dari Teori ke Praktik, 225
                [10]Amir Mahmud dan Rukman, Bank Syariah:Teori, Kebijakan, dan Studi Empiris di Indonesia, hal. 63
                [11]Ibid, hal. 60
                [12]Awalil Rizky, BMT: Fakta dan Prospek Baitul Maal wat Tamwil, hal. 82

No comments:

Post a Comment